More

    “Virus” Dalam Film

    ADIL WANDI*

    ADIL WANDI

    Akhir-akhir ini perfilman Indonesia mengalami peningkatan produksi. Selalu saja ada film yang akan kita tonton. Kadang kita juga bingung memilih film mana yang akan ditonton. Tapi sayangnya  film yang melonjak beberapa tahun terakhir ini adalah bertemakan horor yang dibumbui seks. Atau mungkin seks yang dibungkus oleh horor. Sangat sedikit sekali bahkan tidak ada mengandung unsur pendidikan.

    Perfilman Indonesia seolah-olah sudah lupa dengan diri sendiri. Sebagai Negara yang menganut budaya timur, film Indonesia tidak lagi mementingkan nilai-nilai budaya Indonesia. Target utama adalah bagaimana supaya film laris.

    - Advertisement -

    Semakin laris film yang diproduksi semakin baik bagi pengusaha film. Tapi semakin buruk bagi masyarakat dan generasi muda jika film yang laris itu lemah pendidikan. Parahnya lagi film yang laris tersebut adalah film yang bisa mempengaruhi watak, psikologi dan pola fikir generasi muda. Seperti film horor dengan adegan panas yang sebenarnya tidak nyambung dengan alur cerita. Adegan tersebut dimasukan hanya untuk menunjang nilai komersil. Sebab pada umumnya usia muda sangat tertarik dengan hal-hal yang berbau seks. Apalagi adegan tersebut dimainkan oleh artis idolanya.

     

    Horor atau blue

    Kadang kita juga sulit membedakan film horor yang menjamur dewasa ini. Pasalnya, film tersebut selalu ada adegan yang berbau pornografi. Misalnya roh yang gentayangan karena mati diperkosa. Namun yang ditonjolkan disini bukanlah gentayangannya, tapi bagaimana ia diperkosa. Atau gadis yang jadi hantu karena bunuh diri ditinggal selingkuh sang pacar. Bukan hantunya, tapi yang menjadi sorotan adalah perselingkuhan sang pacar dengan wanita lain.

    Adegan-adegan vulgar yang tidak patut ditonton menjadi ciri khas film horor Indonesia. Keindahan lekuk tubuh wanita menjadi santapan umum di negeri ini. Tak puas dengan itu saja, film horor juga menyajikan adegan yang layaknya dilakukan oleh suami isteri. “Pengrajin” film hororpun tidak tanggung-tanggung untuk memproduksi filmnya. Tidak hanya artis lokal, artis luarpun diboyong untuk menghangatkan film ini.

    Sepertinya film ini sudah satu paket antara horor dan seks. Atau mungkin sebuah bonus karena telah membeli atau menonton film horor yang sebagian orang takut untuk menontonnya. Ketakutan tersebut akan dipoles oleh gerakan gambar yang mengundang syahwat. Mungkin ini merupakan suatu strategi agar film laku keras dipasar perfilman.

    Aturan dan Realita

     

    Dalam undang-undang nomor 33 tahun 2009, tentang perfilman. Disebutkan bahwa salah satu tujuan perfilman dalam pasal 3 adalah terbinanya akhlak mulia. Tapi sepertinya ini tidak menjadi bahan acuan bagi sutradara atau perusahaan perfilman. Prilaku-prilaku negatif seolah-olah menjadi bumbu yang tidak boleh ditinggalkan.

    Film akan terasa lebih “gurih” jika ditambahkan dengan bumbu-bumbu yang sebenarnya tidak mendorong penikmat film untuk meningkatkan akhlaknya. Sebuah film bisa mempengaruhi emosional penonton. Dan jika sering menonton film dengan tema yang sama lama-kelamaan akan menjadi karakter dirinya.

    Masih banyak hal yang patut diangkat untuk dijadikan sebuah film di negeri yang kaya budaya ini. Namun para “pengrajin” film sepertinya masih asik dengan horor dan budaya barat. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh pasar. Targetnya adalah supaya film bisa go internasional dan dikenal orang sedunia. Tapi sangat ironis sekali rasanya jika bepergian dengan baju pinjaman. Bangga dengan “kostum” orang lain yang membuat diri kita terlihat agak sedikit gagah. Walaupun terasa sempit namun tetap dipaksakan.

    Berpelukan, berciuman, tampil dengan busana seadanya bahkan sampai adegan di atas ranjang di barat hal ini bukanlah sesuatu yang asing. Kebiasaan seperti inilah yang menjadi trend dalam film horor Indonesia. Lebih menonjolkan budaya asing dari pada budaya sendiri. Sedangkan dalam UU nomor 33 tahun 2009 disebutkan bahwa perfilman bertujuan berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional. Suatu yang sangat bertolak belakang sekali antara aturan dan realita yang ada sekarang.

    Dalam pasal 4 juga disebutkan tentang fungsi perfilman. Yaitu, perfilman mempunyai fungsi budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif, dan ekonomi. Namun sepertinya yang banyak dipakai adalah hiburan dan ekonomi saja.

    Namun tidak semua film Indonesia seperti yang digambarkan di atas, tapi setidaknya lebih mendominasi. Kita juga kenal dengan film-film yang bisa menggugah perasaan yang mendidik dan kaya dengan budaya Indonesia. Seharusnya ini menjadi contoh bagi yang lainya. Bukan ceritanya, namun pesan dan nilai dalam sebuah film semestinya bisa membuat masyarakat lebih mengarah kepada kehidupan yang positif.

    Mungkin kita merindukan film-film era 80-an dan 90-an yang banyak mengandung nilai pendidikan dan perjuangan. Si Doel Anak Sekolahan misalnya, mengisahkan seorang anak manusia yang hidup di tengah kemelut kota. Perjuangan untuk membahagiakan keluarga, perjuangan untuk menggapai cita-cita dan banyak hal yang bisa dipelajari dari film ini.
    Bentengi Diri dari Pengaruh Film

     

    Banyak prilaku menyimpang yang telah dilakukan oleh remaja atas pengaruh film. Seperti hamil diluar nikah, mungkin penasaran untuk merasakan tayangan-tanyang yang selama ini hanya bisa dilihat saja.

    Namun kita tidak bisa menyalahkan film seutuhnya. Sebagai penikmat film, kita harus bisa membentengi diri agar tidak terpengaruh oleh sugesti yang tidak bermanfaat dari film yang kita tonton. Sering kali kita jumpai remaja yang masih labil ikut-ikutan trend tidak bermanfaat yang dipakai dalam sebuah film. Namun bukan berarti kita berhenti untuk menonton film. Karena hidup ini akan terasa kaku kalau tidak ada hiburan.

    Kecerdasan dalam menyikapi film, inilah yang kita butuhkan untuk membentengi diri sendiri agar tidak terinfeksi “virus” dalam film. Kita harus bisa menyaring setiap yang kita tonton atau yang masuk dalam fikiran.[]

     

     

    *Penulis adalah Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, bergiat di LPM Suara Kampus.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here