More

    Menunggu Nasib Para “Caleg Bersih”

    ABC AUSTRALIA NETWORK

    (Dari kiri ke kanan) Taufik Basari, Binny Buchori, dan Haris Azhar.
    (Dari kiri ke kanan) Taufik Basari, Binny Buchori, dan Haris Azhar.

    Hingar-bingar Pemilu Legislatif Indonesia sempat diwarnai dengan peluncuran daftar caleg bersih, yang diprakarsai sejumlah LSM, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Bagaimana nasib para “caleg bersih” tersebut?

    Para LSM itu merilis 97 nama caleg dengan rekam jejak yang dinilai baik, dengan tujuan mengimbau masyarakat untuk terlibat dalam agenda perubahan.

    - Advertisement -

    Koordinator Eksekutif KontraS, Hariz Azhar, punya alasan tersendiri mengenai pemilihan sederet nama tersebut. “Nah orang-orang ini kalau dibilang dipilihnya secara subyektif, betul. Dan kami bangga dengan itu. Kami bukan memilih secara obyektif, kami memilih secara subyektif,” katanya.

    “Akhirnya kita memilih orang-orang yang memang kita kenal, kita kenal kemampuannya, kita kenal keberpihakannya, kita mengenal pikirannya dan terbukti pernah melakukan sejumlah hal. Sukses tidak sukses itu soal lain. Tapi mereka pernah melakukan sejumlah hal yang kita anggap penting,” ujar Haris Azhar.

    Daftar boleh dirilis, harapan boleh dijunjung, namun kenyataannya, masyarakat masih banyak yang tak mengetahui kehadiran mereka, atau bahkan, sangsi sepenuh hati akan kiprah mereka selama ini, walau telah dilabeli “caleg bersih.”

    Bagaimana tanggapan pemilih? “Saya sebenarnya tidak terlalu tahu kriteria caleg bersih dan bagus itu. Kalau saya lebih melihat, justru yang sudah memerintah atau sudah kerja. Baru sebenarnya kelihatan dia bersih atau tidak,” kata Pandu Baskoro yang dijumpai Nurina Savitri dari ABC Internasional.

    Lain lagi dengan Fallin Silaban. Dia mengatakan, “Tidak bisa beri komentar apa-apa, karena belum melihat aksi mereka, gitu. Jadi kalau misalnya caleg bersih atau tidak bersih, ya itu kan bukan dari logo bersihnya mereka atau dari… seperti yang disebut dari catatan cv-nya atau dia dari lembaga-lembaga independen yang bersih, yang memang background-nya bersih, begitu, kan.”

    Masih berjuang
    “Saat ini kita sudah menerima laporan juga dari tim kita, dan dari laporan itu saya bisa katakan posisi saya sebenarnya belum aman. Karena memang di dapil 1 DKI ini hanya ada 6 kursi, sementara, beberapa partai politik juga memiliki jumlah suara yang besar, sehingga pertarunganya memang sangat sengit,” ujar Taufik Basari, yang masuk nominator caleg bersih. Ia bertarung di untuk DPR RI Dapil Jakarta Timur dari Partai Nasdem.

    Sedang Binny Buchori, nominator caleg bersih lainnya , untuk DPR RI Dapil Jawa Timur VII dari Partai Golkar mengungkapkan: “Ya peluangnya masih belum kelihatan. Karena sejauh ini data yang saya punya hanya berdasarkan dari relawan-relawan yang saya miliki, yang jumlahnya sangat terbatas. Jadi masih belum bisa disimpulkan apakah saya leading atau orang lain yang leading.”

    Kondisi yang dialami Taufik dan Binny Buchori ini, bukan tak disadari sepenuhnya oleh lembaga-lembaga yang merilis daftar caleg bersih tersebut.

    Menurut Haris Azhar, pilihan sepenuhnya ada di tangan masyarakat.

    “Jadi ini sifatnya sangat personal sekali. Misalnya teman-teman Walhi di Jawa Timur mengkampanyekan, tidak memilih caleg-caleg dari Partai Golkar. Nah kalau KontraS misalnya, kampanye tidak memilih Partai Hanura dan Gerindra. Karena dua partai ini dianggap sebagai partai, yang mana orangnya yang akan mengusung capres, patut diminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran HAM. Apakah Indonesia misalnya, mau parlemennya dan memiliki capres yang dipermasalahkan catatan HAMnya?”

    Meski demikian, menurut Taufik Basari, ketidakpopuleran caleg bersih diduga karena masih beredarnya praktek-praktek lama dalam pemilu.

    Sebelum maju sebagai caleg, Taufik adalah pengacara sejumlah kasus HAM dan konstitusi, serta mantan aktivis Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

    “Kendala paling utama adalah politik uang, kedua politik uang, dan ketiga politk uang. Saya punya 3 definisi atau jenis praktek politik uang. Yang langsung, yakni yang terjadi pada saat adanya kunjungan tim atau kunjungan si caleg itu kepada masyarakat. Yang kedua adalah politik transaksional, yang saya maksud politik transaksional adalah janji-janji material. Yang ketiga adalah serangan fajar,” katanya.

    Hal senada juga disampaikan Binny, aktivis HAM yang berpengalaman 20 tahun di LSM internasional. “Kalau kita bicara diserang dengan uang, ya tidak ada artinya, mau caleg bersih, juga akan sulit. Tapi tidak sesederhana itu juga,” jelasnya.

    Walau dugaan adanya politik uang masih beredar dalam pemungutan suara, ketidakpastian nasib caleg bersih ini juga menunjukkan, betapa ketidakpercayaan politik masyarakat Indonesia, masih begitu besar.

    Hasil beberapa perhitungan cepat oleh lembaga survei menyebutkan, tingkap persentase golput pemilu kali ini mencapai 34 persen.

    Kita tunggu saja bagaimana hasil akhir rekapitulasi penghitungan nasional yang akan resmi diumumkan awal bulan Mei nanti.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here