More

    Rimba ini, Biarkan Menjerat Persaudaraan Kita

    Aprillia Lentera Wahyani

    Camera 360
    Mapa Gunadarma. FOTO. Irfan Ramdhani

     

    Kami ingin memperkenalkan diri. Kami adalah, Mapa Gunadarma, mahasiswa Gunadarma yang mempunyai kegiatan tambahan di kampus. Kegiatan kami cukup menguras tenaga dan keringat.

    - Advertisement -

    Kami merupakan mahasiswa dengan mental bagai seribu lapis baja. Tak gentar diterjang hujan, tak goyah dihembus angin, tak luluh ditempa bebatuan cadas. Mahasiswa dengan tekad sebesar semesta, serumit jagad raya. Begitulah singkatnya penggambaran diri kami, Mapa Gunadarma. Sudah cukup sesi perkenalan.

    Pada sore hujan itu, masih lekat di pikiran. Kami menaiki tangga bangunan. Bangunan yang tampak bagai sebuah tower dengan  lima lantai menjulang ke langit langit. Bangunan itu bernama sekretariat, lengkap dengan manusia-manusia penjelajah yang hidup di dalamnya.

    Satu demi satu kami pijak anak tangga di sana. Setelah sampai lantai empat, kami memanggul ransel besar beserta muatannya dan kembali menuruni anak tangga.

    Tanpa menunggu perintah, kami bak pasukan semut, seketika berbaris dengan rapih. Tak berapa lama, datanglah beberapa orang ‘kakak’ dari ‘bangunan tower’ tadi dan langsung memerintahkan kami membongkar seluruh isi dari ransel tersebut (carrier).

    Dengan cepat ‘kakak-kakak’ itu memeriksa benda benda kami. Benda tersebut akan menjadi tumpuan bahkan nyawa kami kelak.

    Oh ya, kami lupa menceritakan rencana perjalanan kami. Sama seperti yang lain, kegiatan Mapa Gunadarma melalui beberapa tahapan pendidikan dan pematangan. Kebetulan yang ingin kami coret dalam lembar putih ini adalah perjalanan pendidikan dasar Mapa Gunadarma. Pendidikan yang cukup singkat, namun cukup pula menghancur leburkan lapisan baja dalam diri kami ini.

    Jam dinding menunjukan pukul 04.00 WIB. Sudah waktunya kami bangun dan bersiap. Walaupun mata masih terpejam, namun tidak dengan otak kami. Entah apa yang terjadi, otak kami terus saja terjaga. Seandainya dapat  dicaci, tentu sudah kami caci. Tapi kalau kami caci dia, sama saja kami mencaci diri kami sendiri. Bodoh. Sudahlah.

    Dengan langkah pasti, kami panggul carrier dan melangkah keluar. Dengan kaki yang kokoh, tangan yang angkuh dan hati yang keras kami meyakini diri kami pada tujuan itu. Walau hati dan pikiran kami terus dihantui bayangan buruk, tapi kami yakin dengan Mapa Gunadarma akan menuai hasil yang setimpal pula.

    Beberapa jam kemudian, kami calon peserta didik, saudara saudari Mapa Gunadarma dan para anggota pecinta alam yang lain melakukan upacara pelepasan atau pemberangkatan kami. Kami melihat garis wajah seluruh anggota Mapa Gunadarma yang mengeras akibat tegang.

    Ketegangan akan suatu hal yang fana, belum tentu pasti kebenarannya. Ketegangan untuk mempersiapkan diri menjaga satu sama lain. Dalam hati kami masing masing masih terus bergejolak.

    Mengapa kami disini? Mengapa kami harus melakukan ini? Tidak bisakah kami seperti mereka yang melenggang santai dengan berbagai atribut mewahnya? Baiklah, ini pilihan kami. Jalur keras.

    Upacara pelepasan itu terasa menyentuh dalam benak kami. Kami menatap mata para instruktur satu persatu, dalam tatapannya, mereka berkeras agar kami tetap tangguh. Andai dapat menjerit, kami semua ingin menjerit sekuat tenaga untuk melenyapkan bising dalam batin kami ini.

    Sekarang, Mapa Gunadarma, sudah berada dalam kendaran besar, gagah, hitam dan luas. Kami semua terlelap selama perjalanan, mencoba menjernihkan batin dan pikiran akan bayangan bayangan buruk.

    Tempat duduk ini terasa nyaman karna kami duduk berdampingan, siap merangkul bahkan menompang satu sama lain. Udara siang yang menerobos masuk membelai pelipis dan menyeka keringat kami. Nyaman sekali. Terima kasih tuhan, engkau masih membiarkan kami semua merasakan nikmatmu dalam keguncangan hati ini.

    Sesampainya di tempat tujuan, lagi-lagi kami harus memanggul benda berat itu. Dengan sebatang alat penerangan di tangan, kami menapaki jalan gelap ini. Entah sejak kapan matahari memalingkan cahayanya. Mata ini hanya akan menatap ke atas, kaki ini hanya akan memijak dengan teguh dan jemari ini hanya akan menggenggam fananya udara.

    Beberapa jam berlalu, sampailah kami di sebuah lapangan berumput yang cukup luas. Cukup menampung calon anggota Mapa Gunadarma yang berjumlah tiga puluh orang. Seperti ritual makan pada umumnya, kami duduk melingkar dan sudah menadah makan malam masing masing. Walaupun perut tidak terasa lapar, kami mempunyai tanggung jawab untuk menghabiskannya.

    Setelah habis, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan. Bukan penginapan, bukan pula gubuk sederhana tentunya. Dengan bekal alat bantu yang kami bawa. Kami bekerja sama membangun beberapa bivak (tenda sederhana) dari ponco dan mengganti pakaian berjalan kami dengan pakaian tidur.

    Tidak perduli pukul berapa, tidak perduli beralaskan apa, tidak perduli beratapkan apa. Mapa Gunadarma akan tetap membaringkan tubuhnya di tempat ini. Berharap lelah akan enyah esok hari. garis lelah tak terelakkan pada wajah seluruh anggota dan calon anggota Mapa Gunadarma. Ingin rasanya membagi lelah ini dengan beberapa ‘guyonan’ sederhana, namun dirasa tidak mungkin.

    Matahari belum terbit, tubuh dan otak kami sudah dipaksa bergerak cepat mengganti pakaian lagi dengan pakaian olahraga, setelan celana cargo, t-shirt putih polos dan sepatu PDL.

    Kami berpindah lokasi ke tempat yang lebih memungkinkan untuk berolahraga. Masih dengan kerongkongan kering, kami berbaris memanjang sambil menenggak setakar kecil air minum. Ego kami meronta, amarah kami mencekik batin hingga sesak. Sudahlah, gemuruh ini cukup sampai sini.

    Cacing dalam perut sepertinya sudah mulai terjaga. Tepat sekali wakutnya makan siang. Peralatan masak dan bahan makanan sudah siap memasang posisi untuk segera kami ‘mainkan’. Sementara para lelaki menghadap sang pencipta pada jum’at siang ini, para wanita sibuk meliukkan jemarinya di atas kompor dan nesting (alat masak persegi panjang terbuat dari besi).

    Tak berapa lama, para lelaki datang dan langsung menempati posisi makan. Walaupun kami akui, rasa masakan buatan kami tidak semewah atau senikmat masakan wanita wanita hebat di dapur sana, tapi kami bahagia dapat melihat saudara saudara kami makan dengan lahap.

    Inikah yang dinamakan indahnya berbagi? Lepuhan yang sedikit menghiasi jemari seolah lenyap ditelan garis semangat yang terpancar dari wajah saudara-saudara Mapa Gunadarma. Bahagia-Mu, bahagia kami, saudara.

    Perjalanan hari ini tidak hanya sampai sini. Dengan diiringi hujan cukup deras, kami menapaki jalan berlumpur dan berbatu. Sebuah ponco tipis kami gunakan demi  menjaga tubuh dari derasnya hujan. Tidak membuat hangat tubuh kami tentunya, namun semangat dan tekad yang tiba tiba melapisi tubuh kami hingga hangat sekali.

    Beberapa kali langkah kami gontai saat menapak pada bebatuan. Alunan suara air hujan semakin mengindahkan perjalanan. Para wanita dapat sedikit bertenang hati, karna pada lelaki dengan gagahnya menggenggam jemari kami sambil melewati medan bebatuan, tanah, hingga lumpur. Demi menjaga saudarinya, mereka rela tergelincir bahkan terjatuh. Sungguh indah persaudaraan ini. Tuhan, bantulah hamba untuk tetap mensucikan persaudaraan ini, jangan biarkan ternodai oleh kelam.

    Tidak terasa matahari lagi-lagi enggan beriringan sepanjang waktu dengan kami, mungkin dia malu, mungkin dia membiarkan sang rembulan lebih terlihat gagah menyongsong malam. Tubuh ini kami biarkan terbaring beralaskan dedaunan. Gelap, sunyi, takut. Bukan hanya hati yang bergetar. Walau jemari kita tidak bersentuh, biarkan tali tali halus alam yang beradu mempersatukan batin kita. Berangkulan. Menjaga satu sama lain.

    Dan untuk kesekian kali mata kami terjaga bahkan sebelum cahaya matahari mengintip bumi lewat celah celah langit. Jantung berderu, nafas memburu. Tatapan itu, tatapan para instruktur bak sorot mata harimau yang mengerang. Tubuh kami bagai dihantam sebilah pisau daging ketika menatap tatapan itu. Hati kami harus jauh lebih kokoh dari pohon bakau, lebih tegar dari batu karang, lebih angkuh dari lapis baja.

    Pagi ini, dihiasi kicauan yang entah berasal dari jenis burung apa suara tersebut. Hembusan angin menusuk tulang, merasangsang bulu halus bergidik dengan cepat. Tiga puluh kepala ini, salah satu diantaranya sudah terpenuhi oleh sensasi terpendam. Dia bahagia, namun dia juga cemas. Hanya senyuman pasi yang dapat dia berikan pada kami. Tepat hari ini, di tanggal 22 maret 2014, saudari dari calon anggota Mapa Gunadarma mengenang masa kelahirannya. Apa yang dapat kami berikan dalam keadaan seperti ini. Mungkin hanya jabat tangan dan pelukan hangat yang dapat kami bubuhkan padanya. Selamat ulang tahun, saudari. Kenanglah kisah ini.

    Perpaduan kentalnya adrenalin dengan perihnya keraguan membuat tubuh kami melemah. Bagai rentan diterpa angin, tubuh kami terkoyak di tengah rimbunnya pepohonan. Dengan sebilah pisau pinggang, kami menebas apapun yang menghalangi jalan kami. Keringat dingin menetes di dahi, ‘sudah saatnya degup ini dihentikan, perkeras hati perkeras tekad!” kami berkata dalam hati.

    Senja menepis teriknya matahari. Para lelaki dan wanita dipisahkan dalam dua kubu yang berbeda. Kejutan apa lagi ini. Ingin rasanya kami mengabadikan rembulan di pelupuk mata, begitu indahnya hingga kami enggan membiarkannya pergi.

    Pagi ini, seluruh persediaan bahan makanan kami semua dikumpulkan oleh para instruktur. Dengan bermodalkan pisau pinggang, kami mencari bahan makanan dari sekitar kami. Cekatan dan cermat yang menjadi modal utama. Semangat kami sedikit memudar, otak kami hanya dipenuhi bagaimana caranya bertahan disini.

    Tidak mudah membuat ini menjadi ringan. Pikiran kami mengeruh. Mungkin tadi malam teracuni oleh kerinduan terhadap gedung gedung kokoh, pelukan hangat bidadari utusan tuhan, bahkan asap racun nikotin yang mengebul putih di dasar langit.

    Kolong langit tempat kami menggebu ini menjadi saksi bisu terjeratnya tiga puluh kepala Melemaskan genggaman, menundukan kepala, meringankan nafas. Kami terobati oleh ritual sederhana itu.

    Mengeras, bahkan membatu. Mungkin itu penggambaran sederhana dari kegiatan pendidikan ini. Walau bak batu karang yang dihempaskan pada tubuh kami, tapi tubuh kami akan seratus kali lipat lebih angkuh darinya. Pengerasan ini bukan tanpa otak kami lakukan. Semua ini semata-mata untuk membangun diri kami bak langit yang kokoh tanpa penyanggah ataupun bumi yang tegar walau terinjak.

    Benar saja, kaki dan tangan yang tak berhenti bekerja. Memahat setiap pepohonan yang kami lewati, meinggalkan beberapa bebauan tubuh kami di dedaunan. Hanya untuk kenangan, tuhan. Terbuailah  bagi setiap hembusan napas yang mengintai.

    Kami, Mapa Gunadarma pergi, pergi benar-benar pergi. Meninggalkan rintihan ini menepi untuk waktu yang lama. Membiasakan paru paru ini berdampingan dengan kebulan nikotin di sekelilingnya. Menumpuk kembali tekad tekad baja yang selama ini mengikis tertumbuk hari.

    Kami ditempa bukan untuk mati, tapi kami ditempa untuk lebih menghargai hidup. Satu kalimat yang selalu saya cerna adalah tabah sampai akhir.

    Tempaan ini bukan kegiatan tak berguna yang membuang waktu. Semua ini berakar pada satu tujuan Mapa Gunadarma. ‘Pelampiasan’ materi berupa Pendidikan Dasar angkatan 22 Mapa Gunadarma.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here