More

    Munculnya Arsitektur Kemanusiaan Pasca Bencana

    Masjid Berjalan di Bangladesh. (Foto: Jonas Bendiksen, Biro Penelitian ‘Humanitarian Architecture’)
    Masjid Berjalan di Bangladesh. (Foto: Jonas Bendiksen, Biro Penelitian ‘Humanitarian Architecture’)

    Dokter, praktisi pembangunan dan insinyur seringkali adalah pekerja pertama yang turun pasca bencana alam atau konflik berakhir. Kini, para arsitek-pun mengikuti jejak mereka. Tak hanya menggambar di meja, mereka pun turun gunung, membentuk sebuah disiplin baru: ‘arsitektur kemanusiaan’.

    Ketika sebagian besar dari kita berpikir tentang aristektur, seringkali kita membayangkan rumah-rumah cantik atau gedung pencakar langit yang megah. Tapi belakangan ini, para arsitek banyak yang terlibat di sejumlah proyek kemanusiaan.

    Dengan ancaman perubahan iklim, dan meningkatnya keparahan bencana alam – paruh pertama 2011 adalah periode 6 bulan termahal dalam sejarah industri asuransi –kebutuhan akan tempat berlindung dan akan solusi rekonstruksi jangka panjang makin meningkat dibanding sebelum-sebelumnya.

    - Advertisement -

    Esther Charlesworth, pendiri ‘Architects Without Frontiers’ atau ‘Arsitek Tanpa Batas’, mengatakan, istilah ‘arsitektur kemanusiaan’ baru diperhitungkan sejak peristiwa tsunami pada tahun 2004.

    “Kata kemanusiaan benar-benar menunjukkan keinginan untuk membantu komunitas yang membutuhkan atau komunitas yang rentan. Ada sindrom tas Gucci di kalangan arsitek, mereka masih mendominasi pendidikan arsitektur jadi tak heran kita sangat akrab dengan nama-nama seperti Rem Koolhaas dan Zaha Hadid, dan jika kita bekerja di kantor arsitektur, suatu hari nanti kita bisa menjadi salah satu dari para arsitek hebat tersebut. Apa yang saya coba sampaikan di sini adalah masih ada jalur lain,” tuturnya.

    Esther, yang juga penulis buku ‘Arsitektur Kemanusiaan: 15 Kisah Arsitek yang Bekerja Pasca Bencana’, mengatakan, definisi arsitektur kemanusiaan itu luas, dan meliputi berbagai pekerjaan dengan komunitas suku asli Australia dan desain penjara misalnya, atau dengan program rekonstruksi jangka panjang seperti pada bencana Fukushima atau topan Sandy.

    “Seluruh energi yang ada pasca bencana ditempatkan dalam fase darurat. Masyarakat coba mencari atap untuk melindungi mereka, air dan juga sanitasi. Masalahnya, banyak dari tempat perlindungan sementara ini akhirnya menjadi tempat tinggal jangka pajang karena mereka telah kehilangan tempat mereka. Kita butuh sedikit masukan tentang bagaimana sebuah tempat penampungan bisa menjadi sebuah rumah jangka panjang. Hal seperti ini harus direncanakan di periode awal pasca bencana, ketimbang fokus pada upaya darurat,” jelasnya.

    Beberapa kritik yang muncul dari dunia arsitektur sendiri mengatakan, semua arsiktektur yang bagus berpangkal ke kemanusiaan, karena hal itu mengakomodasi lingkungan setempat dan kebutuhan mereka yang akan menggunakannya.

    Esther tak sependapat dengan argument tersebut.

    “Saya sangsi bahwa jika anda melihat ‘Grand Design’ seperti kebanyakan dari kami, kita tak akan melihat proyek-proyek kemanusiaan. Kasino besar, gedung-gedung perkotaan, vila senilai 4 juta dolar, menurut saya tak ada orang yang akan menjelaskan hal tersebut sebagai proyek kemanusiaan,” tegasnya.

    Ia menambahkan, “Meski demikian, saya pikir anda tak membutuhkan paspor, ada banyak proyek di sekitar anda yang bisa dikerjakan. Menurut saya, arsitektur inovatif dan kemiskinan bukanlah konsep yang saling terpisah.”
    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here