More

    Pengalaman Dua Guru Asal Adelaide Mengajar di Bandung

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    Nurina Savitri

    Mia Damayanti (ujung kanan), Nicole Brown (dua dari kiri), dan Lisa Roe (tiga dari kiri) beserta 3 siswa SMANCIS di depan rumah jamur tiram di sekitar sekolah. FOTO : akun Facebook Mia Damayanti.
    Mia Damayanti (berhijab), Nicole Brown (dua dari kiri), dan Lisa Roe (tiga dari kiri) beserta 3 siswa SMANCIS di depan rumah jamur tiram di sekitar sekolah. FOTO : akun Facebook Mia Damayanti.

    Meski singkat, Nicole Brown dan Lisa Roe sangat terkesan dengan kunjungan mereka ke Indonesia. Singgah di Jakarta dan Denpasar, dua guru Australia ini sangat menikmati budaya Indonesia. Namun, sepekan di Bandung dan berinteraksi dengan para pelajar di sana-lah yang membuat mereka belajar banyak.

    Indonesia di mata Nicole, kini, sungguh berbeda dengan Indonesia yang ada dalam pikirannya saat belum menginjakkan kaki di tanah khatulistiwa.

    - Advertisement -

    “Saya tahu orang-orang Indonesia terkenal ramah dan menyenangkan, tapi saya cukup kaget ketika mereka cukup tahu banyak soal Australia, dan merupakan sosok yang pekerja keras,” ujarnya kepada ABC.

    Ia sendiri tak pernah membayangkan bahwa pertemuannya dengan para pelajar Indonesia akan meninggalkan kesan mendalam.

    “Anak-anak mencoba berbicara seperti orang Australia seperti menyapa ‘G’day mate’, mereka juga mempelajari aksen Australia, dan…mereka bahkan menyanyikan lagu kebangsaan Australia dengan benar di depan kami berdua,” urai guru olahraga dan geografi ini dengan tawa renyah.

    Adalah ‘Collaborative Teaching Learning”, program pertukaran pengajar dan kerjasama antar-sekolah yang membawa Nicole Brown dan Lisa Roe ke Indonesia.

    Program yang digagas Asosiasi Sekolah Katolik Australia Selatan (CESA) bekerjasama dengan Asia Education Foundation yang bernaung di bawah Universitas Melbourne; dan Pemerintah Australia melalui AusAid ini, mengirim dua guru asal Australia Selatan ini ke Jawa Barat untuk melakukan studi banding ke 7 SD dan 1 SMA di Kabupaten dan Kota Bandung, selama 2 pekan.

    “Sebelum terjun ke dunia pendidikan, saya sempat bekerja di bidang industri IT selama 7 tahun. Dan kemudian saya mendapatkan kesempatan ini, benar-benar luar biasa,” aku Lisa.

    Guru matematika dan fisika di Cardijn College ini mengingat betul bagaimana reaksi siswa-siswi Indonesia ketika ia dan rekannya Nicole datang ke kelas-kelas untuk mengajak mereka berinteraksi.

    “Beberapa dari mereka tampak malu-malu, tapi semuanya sangat antusias. Yang paling saya ingat adalah ketika saya mencoba mengajarkan matematika,” ungkapnya kepada Nurina Savitri dari ABC Internasional.

    Ia lalu menyambung, “Mereka punya PR lalu saya meminta untuk membahasnya di depan kelas. Mereka menyampaikan soal dalam bahasa Indonesia, dan karena bahasa Indonesia saya sangat trebatas, saya menjawab dalam bahasa Inggris, menarik sekali, dan akhirnya terselesaikan juga.”

    Lisa mengaku, murid-murid Indonesia memiliki kemampuan matematika yang sangat bagus, namun ia memiliki masukan bagi para generasi penerus di negara tetangganya ini. “Mereka benar-benar berusaha keras untuk mendapat nilai yang bagus, saya menyarankan agar siswa SMA Indonesia, mungkin, bisa belajar lebih banyak tentang masalah-masalah yang sebenarnya terjadi di dunia,” kemukanya.

    Ia kemudian menuturkan, “Anak SMA di Australia tak mempelajari banyak mata pelajaran, jadi ini memberi mereka kesempatan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis. Ini perbedaan utamanya. Mereka juga tak harus menghadapi soal ujian yang berat seperti di Indonesia.”

    Mia Damayanti, guru biologi dan Kepala Kerjasama Luar Negeri di SMA Negeri 1 Cisarua, salah satu sekolah yang dikunjungi Nicole dan Lisa, mengatakan, kedatangan dua guru Adelaide ini adalah kesempatan yang sangat berharga bagi murid-muridnya.

    “Banyak anak-anak kami yang baru pertama kali bertemu dengan foreigner. Mereka pun bilang ke saya ‘Bu, kok bahasa Inggrisnya berbeda dengan guru bahasa inggris di sekolah kita,?’,” kisahnya.

    Mia juga mengaku ia sempat khawatir atas kedatangan kedua guru asing itu lantaran merasa toilet di sekolahnya, yang terletak di daerah pinggiran kota, tak sebanding dengan toilet sekolah yang ada di Australia.

    “Ada rekan guru yang bilang ke saya ‘Kenapa mereka diajak ke sini, kan malu?’ eh ternyata mereka malah sudah persiapan sekali, walau memang fasilitas yang kami punya, kalau dibanding Australia, masih jauh lah..soal kebersihan..kamar mandi,” utara perempuan yang sempat tinggal di Adelaide selama 2 tahun ini.

    Meski demikian, bagi Mia, program studi banding ini memiliki manfaat yang besar bagi pelajar di sekolahnya dan juga merupakan kesempatan untuk membuktikan diri bagi sekolah yang dikunjungi.

    “Sewaktu anak-anak belajar menghafal lagu kebangsaan Australia, mereka mengatakan ‘Syairnya menyentuh hati kami, sederhana tapi makna nasionalisme-nya dalam’. Jadi menurut saya, anak-anak itu belajar tidak hanya dari bahasa Inggrisnya saja, tidak hanya dari metode pengajarannya saja, tapi ada hal lain,” ujar perempuan berjilbab ini.

    Sekembalinya Lisa dan Nicole ke Australia, program ini mengharapkan agar para guru di Bandung juga bisa berkunjung ke Adelaide untuk melakukan hal serupa, pada awal tahun 2015.

    Pengalaman unik menjadi ‘houseparent’
    Selain mengunjungi sekolah-sekolah, Nicole dan Lisa juga tinggal di rumah seorang warga lokal selama studi bandingnya di Bandung.

    Mia kebetulan menjadi tuan rumah mereka. Selama dua pekan, keduanya tinggal di rumah Mia dan mencoba beradaptasi dengan suasana ala keluarga Indonesia.

    “Mereka tinggal di rumah saya, saya seperti ‘houseparent’, ternyata ga gampang loh. Mereka sepertinya lebih siap, karena ternyata banyak sekali bawaannya, sementara saya sempat bingung mengatur makanan dan sebagainya,” ujarnya kepada ABC.

    Ia lantas mengisahkan pengalaman unik saat Idul Adha tiba. “Mereka itu mau ikut solat ied, mereka sudah siapkan syal, baju panjang, mereka juga ikut gerakan solat walau mungkin bingung ya kok gerakannya ganti-ganti tiap berapa detik,” tutur Mia sambil terkekeh.

    Tradisi lebaran yang penuh dengan makanan-pun nampaknya memantik cerita lucu dari keduanya. “Lisa dan Nicole kan juga ikut keluarga saya berkunjung ke rumah saudara-saudara. Nah tiap berkunjung ke satu rumah, selalu disediakan makanan. Akhirnya mereka bilang, ‘Mia kalau hari ini mengunjungi 7 rumah berarti kita akan 7 kali makan?’,” kenang Mia tanpa bisa menahan tawanya.

    Ia pun berharap agar para guru di Indonesia juga memiliki kesiapan mental untuk menjadi peserta pertukaran pengajar, seperti halnya Nicole dan Lisa yang ia nilai mampu beradaptasi dengan budaya Indonesia. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here