More

    Puisi Widji Tukul Dalam Pameran “Kotak Hitam”

    Megha Dwi Anggraeni

    Pameran lukisan Kotak Hitam.
    Pameran lukisan Kotak Hitam.

    BANDUNG, Kabarkampus – Sebuah kotak hitam selalu menjadi kunci jawaban dari kasus-kasus kecelakaan pesawat terbang. Ketika pesawat mengalami kecelakaan maka, kotak hitam menjadi benda pertama yang akan dicari.

    Berangkat dari sana, Andreas Iswinarto seorang seniman, menggelar pameran lukisan bertajuk Kotak Hitam. Pameran ini berupaya mengingatkan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

    - Advertisement -

    Salah satu karya yang dipamerkan adalah Bunga dan Tembok. Karya ini diambil dari karya puisi Widji Tukul berjudul Bunga dan Tembok. Dalam puisinya Widji menyebutkan “Jika kami bunga dan engkau adalah tembok tapi di tembok itu sudah kami tebar biji-biji, suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan engkau harus hancur dalam keyakinan kami, di manapun tirani harus tumbang”

    Andreas melihat setiap kalimat dalam puisi Bunga dan Tembok serupa dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pada era Orde Baru tertutup rapat.  Pasca reformasi, sedikit demi sedikit kasus tersebut terkuak ke permukaan, karena semakin banyak yang memperjuangkannya.

    Menurutnya, Bunga dan Tembok bukan satu-satunya puisi milik Wiji Thukul yang kemudian dinarasikan oleh Andreas melalui gambar. Masih ada puluhan lain puisi milik Wiji Thukul yang diceritakan lewat gambar oleh Andreas, seperti Kuburan Purwoloyo, Nyanyian Kesesakan, Tentang Sebuah Gerakan, Lingkungan Kita si Mulut Besar, Makin Terang Bagi Kami, Sajak Suara,

    “Saya melihat, suara Wiji Thukul masih terdengar sampai sekarang. Membaca karya-karya Wiji Thukul adalah membaca Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi,” pungkasnya.

    Karya-karya Andreas terbilang sederhana, sesederhana coretan anak-anak SD di atas kertas HVS saat pelajaran menggambar. Dia juga tidak banyak menggunakan warna, hanya hitam dan putih. Kalaupun ada warna lain, Andreas hanya ingin menambahkan sedikit aksen dalam karyanya.

    Tetapi melalui coretannya, mantan aktivis lingkungan yang kini dikenal dengan julukan Master of a Dark Art itu berusaha membuka memori dan mengingatkan kepada publik tentang banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang masih dibiarkan.

    Sebelum menekuni kegiatannya sebagai perupa, Andreas menghabiskan waktunya selama 15 tahun sebagai aktivis Walhi. Meski lama menjalani kegiatannya sebagai aktivis, Andreas melihat gerakan sosial ini abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM.

    “LSM-LSM terlalu fokus pada struktur, akhirnya saya memutuskan untuk memulai dari diri sendiri untuk melakukan gerakan sosial,” katanya.

    Selama empat tahun, pria berusia 49 tahun ini mulai mendalami seni rupa. Inspirasi terbesarnya di dapat dari Kamisan Jakarta, yang sudah berlangsung selama lebih dari tujuh tahun. Selain itu, karya-karya Wiji Thukul juga memiliki pengaruh kuat dalam setiap coretan tinta Andreas.

    Melalui karyanya, Andreas  juga berusaha menyampaikan kepada publik bahwa pelanggaran HAM tidak melulu membicarakan sipol. Cukup banyak kasus pelanggaran yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus-kasus agraria yang menimpa para petani.

    “Kamisan ini sebenarnya ruang terbuka yang selalu memberi ruang untuk kasus-kasus pelanggaran HAM lain di belakang sipol. Kasus-kasus perampasan tanah, isu-isu perempuan, pelanggaran yang menimpa buruh dan masyarakat miskin kota,” pungkasnya.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here