More

    Sinopsis ‘Bukan Negara Setia’

    10 12 2014 poster BNS Media partner

    Sebagai salah satu pewaris sah kekuasaan Demak -setelah Sultan Trenggono wafat- Arya Penangsang terobsesi untuk merebut kekuasaan dari hegemoni Sultan Hadiwijaya. Hadiwijaya, di mata Arya Penangsang tak lebih dari menantu Sultan Trenggono, yang tidak punya hak untuk menduduki tahta apalagi memidahkan Kerajaan Demak (yang ada di pantai utara Jawa Tengah) ke pedalaman wilayah Pajang (sebelah barat Surakarta). Perlawanan pun terus dilakukan. Namun selalu kandas.

    “Aku berjalan di sebuah lorong gelap yang sangat panjang. Dalam kegelapan itu aku bertemu daging-daging indah, tubuh-tubuh tanpa perasaan, tubuh-tubuh tanpa pikiran,  tubuh tanpa prinsip-prinsip kemanusiaan. Tubuh tanpa ruh. Tubuh-tubuh itu, berputar mengelilingi langkahku, menggoda perjalananku, menyerimpung langkahku untuk menuju titian suci. Terkuras seluruh energiku untuk menghalau nafsu alluamah, yang mengotori hidupku. Aku jatuh nista ibu. Membunuh, menikam, menipu serta mengkhianati. Aku berlumuran dosa ibu. Aku ingin menangis di pangkuanmu. Betapa banyak kemuliaan yang harus kubuang dalam menjalani kehidupan yang fana ini ibu, demi memperebutkan kekuasan duniawi ini. Aku rindu kamu ibu, ingin aku berkeluh kesah,” pekik Arya Penangsang.

    - Advertisement -

    Di sisi lain, Arya Penangsang mengalami situasi batin yang sulit, karena dituduh membunuh para pewaris Tahta Demak: Sultan Mukmin, Sultan Trenggono, Hadiri dan tokoh-tokoh lain. Situasi politik perebutan Kerajaan Demak waktu itu juga berhubungan dengan konflik agama. Islam menghadapi Jawa. Kebudayaan Jawa yang sinkretis, pada waktu itu kelihatan berhadapan dengan
    politik Islam para Wali. Situasi pelik itulah yang memuculkan suara batin Arya Penangsang.

    Sunan Kudus-lah yang mampu memotivasi Penangsang untuk bangkit dan meneruskan perjuangan untuk merebut kekuasaan Demak yang telah jatuh ke tangan Hadiwijaya. Sunan Kudus menyusun skenario pertemuan. Ia mengundang Hadiwijaya yang juga muridnya dalam sebuah forum “mbabar ngelmu”. Di balik siasat itu terkandung niat untuk mempedaya Hadiwijaya. Maka pertemuan pun digelar. Terjadi perdebatan soal tata-negara antara kubu Penangsang dan Kubu Hadiwijaya. Yang satu mewakili pandangan kaum santri, di mana Islam menjadi dasar negara. Yang lainnya mewakili pandangan sinkretis Jawa, di mana tradisi dan budaya lokal dijadikan pijakan untuk mengelola kekuasaan.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here