More

    Mengubah Ketergantungan Import Dengan Pola Makan

    Mega Dwi Anggraeni

    Ida Ronauli, menunjukkan bakpao yang mengunakan tepung mokav. Mokaf adalah tepung yang berasal dari singkong yang sudah dimodifikasi. Foto : Mega
    Ida Ronauli, menunjukkan bakpao yang mengunakan tepung mokav. Mokaf adalah tepung yang berasal dari singkong yang sudah dimodifikasi. Foto : Mega

    Indonesia boleh dikatakan sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Meski demikian, Indonesia belum bisa melepaskan diri dari produk-produk import, tak terkecuali produk olahan pangan, seperti terigu, beras, jagung, dan gandum.

    Dari data BPS tahun 2003 hingga 2013, menyebutkan sebanyak 10 persen dana APBN atau sekitar 130 triliun rupiah per tahun digunakan untuk mengimport pangan, seperti terigu, beras, jagung, gandum.

    - Advertisement -

    Ida Ronauli, Program Manager Indonesia Berseru  mengatakan, meninggalkan ketergantungan terhadap poduk import sebenarnya bisa dilakukan sedikit demi sedikit dengan mengubah pola makan. Misalkan terhadap terigu yang merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diminati orang Indonesia.

    Ida menuturkan, berbagai pengusaha kuliner kerap menggunakan terigu untuk membuat aneka jenis roti cake, pastry, dan sebagainya. Padahal sebenarnya, Indonesia memiliki berbagai jenis tepung pengganti terigu. Misalkan tepung mokaf yang terbuat dari singkong, tepung sukun, tepung ubi ungu, tepung ganyong, tepung sagu keju, dan lainnya.

    Menurut Ida tepung-tepung lokal pengganti terigu tersebut memiliki kandungan karbohidrat yang lebih rendah ketimbang terigu, sehingga cocok dikonsumsi oleh penderita diabet.

    “Karena tepung-tepung ini terbuat dari umbi-umbian, makanya lebih ramah. Hanya saja, untuk membuatnya memang ada tantangan tersendiri, terutama bagi yang sudah terbiasa menggunakan terigu,” katanya saat acara Bincang Sore Locavore di Tobucil and Klabs, Jalan Aceh No. 56, Bandung.

    Jika terigu bisa diubah dengan menggunakan tepung dari umbi-umbian, maka menurut Ida panganan pokok orang Indonesia pun bisa diubah. Dari beras ke umbi-umbian. Hanya saja, untuk masalah ini pun ada tantangan lainnya.

    “Anak-anak sekarang memiliki pemikiran sendiri, bahwa umbi-umbian adalah makanan kelas rendah yang biasa dimakan supir dan pembantu di rumahnya. Nah, ini juga jadi tantangan untuk mengubah mindset mereka, bahwa sebenarnya umbi lebih baik ketimbang kentang goreng,” katanya.

    Sementara itu, Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Indonesia Berseru menegaskan, isu pangan menjadi sesuatu yang perlu dipecahkan. Jika tidak segera bertindak, maka Indonesia akan berubah dari negara penghasil menjadi negara pengimport.

    “Banyak kuliner yang booming di Indonesia, tetapi bahan dasarnya import. Bahan-bahan pangan lokal kini harus bersaing ketat dengan bahan import, padahal negara ini kaya. Isu pangan ini sudah menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus diperjuangkan,” cetusnya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here