More

    Semangat Kolonialisme Gaya Baru Semarakkan Hari Penyiaran Nasional

    Nursyawal, pengajar Jurnalistik Stikom Bandung.
    Nursyawal, pengajar Jurnalistik Stikom Bandung.

    BANDUNG, KabarKampus – Tanggal 1 April telah ditetapkan sebagai Hari Penyiaran Nasional. Hari Penyiaran Nasional ini diperingati agar para praktisi penyiaran dan seluruh bangsa Indonesia mengingat kembali betapa penyiaran adalah bagian penting dari strategi membangun bangsa Indonesia yang merdeka.

    Namun menurut Nursyawal, pengajar Jurnalistik dan Broadcasting Stikom Bandung, pada kenyataannya, hari ini bangsa Indonesia menyaksikan, peringatan Hari Penyiaran Nasional justru dikemas dengan gaya khas bangsa yang masih dijajah. Esensi peringatan justru hilang menjadi sekedar sebuah tontonan ala budaya barat yang menghibur. Tak tersisa kesan kebangkitan nasionalisme Indonesia, hanya basa-basi pidato normatif, seolah azas dan tujuan penyiaran nasional telah dilaksanakan lembaga penyiaran dengan sempurna.

    “Pada kenyataannya, setiap hari lembaga penyiaran di Indonesia tidak sanggup menyemangati anak bangsa untuk berjuang mengisi kemerdekaan dengan sepenuh jiwa dan raganya. Lembaga Penyiaran saat ini sibuk melayani kepentingan para penguasa yang berkongsi dengan pemilik media dan menyembunyikan agenda tertentu dalam berita, perbicangan, tontonan-tontonan penuh gelak tawa dan drama,” kata Nursyawal yang pernah menjadi komisioner KPID 2009 -2015 dalam keterangan rilisnya untuk memperingati Hari Penyiaran Nasional pada 1 April besok, Selasa (31/03/2014).

    - Advertisement -

    Menurutnya, penonton dieksploitasi agar berada di depan televisi berlama-lama sehingga spot iklan dapat dijual. Begitu juga dengan kerabat kerja lembaga penyiaran yang dieksploitasi untuk menghamba para majikan, para artis dieksploitasi pagi siang malam agar terus memikat sampai ajal mereka.

    Ia mengungkapkan, menurut data KPI, lebih dari 60 persen isi siaran masih berupa hiburan tanpa gizi, lebih dari 20 persen lainnya diisi iklan, sisanya diisi paling besar oleh infotainment. “Memang benar, banyak lembaga penyiaran memproduksi program siaran berkualitas, tapi itu seperti menyirami pot tanaman yg kering dengan sesendok air. Lebih sebagai politik etis industri agar tidak nampak rakus mencari keuntungan daripada menyalakan nasionalisme”, tambahnya.

    Menurut Nursyawal, yang juga pengurus Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini, apa yang terjadi di Indonesia saat ini sama dengan yang terjadi di AS pada Tahun 90-an, ketika konsolidasi bisnis media terjadi secara masif dan penggiringan opini publik melalui siaran-siaran informasi dilakukan. Akibatnya, AS saat ini tengah mengalami defisit kepercayaan publik kepada media serta kepada sistem politiknya sendiri. Sedangkan di Indonesia konsolidasi bisnis media dimulai sejak 14 tahun lalu, dan akan terus terjadi hingga era digital tahun 2018 nanti, karena jumlah stasiun tv akan bertambah signifikan, namun kepemilikannya tetap “dia lagi, dia lagi”.

    Selain itu, nilai-nilai hidup bermasyarakat yang dipasarkan melalui sejumlah siaran nampak menihilkan cita-cita kebangsaan. “Nilai-nilai hidup yang dipaksakan melalui siaran nasional dari Jakarta, adalah nilai-nilai yang tidak jelas akar budaya dan filosofinya. Masyarakat makin kehilangan orientasi pada nilai kekeluargaan, makin materialistis dan konsumtif,” terang Nursyawal[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here