More

    Pemblokiran 22 Situs Islam Adalah Momentum Revisi UU ITE

    27 02 2014 Cabut UU ITE Pasal 27 Ayat 3JAKARTA, KabarKampus – Sahabat Untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) menilai pemblokiran yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika terhadap 22 Situs Berita Islam tidak memiliki dasar hukum yang jelas.  Menurut SIKA hal itu karena tidak ada mandat dari Undang-undang manapun yang mengamanatkan Menkoinfo untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situ tertentu.

    “Tidak ada mandat dari undang-undang manapun yang mengamanatkan Menkoinfo punya kewenangan untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs terntentu. Menkoinfo tidak seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang secara undang-undang punya mandat untuk mengawasi isu siaran,” kata Mutjaba Hamdi dari Medialink, salah satu anggota SIKA, Selasa, (31/03/2015)

    Oleh karena itu, kata Mutjaba ini adalah momentum untuk melakukan revisi lebih menyeluruh terhadap undang-undang ITE. Revisi tersebut ditujukan agar ada badan independen yang mengurusi hal yang berkaitan dengan konten.

    - Advertisement -

    “Jadi badan independen ini nantinya yang akan membahas, apakah konten yang ada di dalam internet melanggar prinsip yang ada dalam konstitusi kita. Misalnya prinsip terhadap penghormatan terhadap kepercayaan orang lain dan pelanggaran hak hidup orang lain” kata Mutjaba.

    Mutjaba mengungkapkan, badan independen ini bersifat transfaran dan akuntabel. Jadi publik bisa tahu apa pertimbangannya sebuah website diblokir.

    “Kita hanya tahu situs itu bermasalah. Tapi kita ngga tau rapatnya seperti apa dan siapa yang dilibatkan. Ini yang harus kita perbaiki. Tidak boleh ada pemblokiran sewenang-wenang seperti ini,” ungkapnya.

    Selain itu, Mutjaba menjelaskan, pemblokiran  22 situs berita Islam tersebut, Menkoinfo menggunakan dasar Peraturan Menteri (Permen). Padahal seharusnya yang berakitatan dengan sensor, aturan harus pada level undang-undang.

    “Harus disebutkan secara khusus siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan sensor. Tidak bisa dillevel undang-undang apalagi di bawah Permen,” ungkapnya.

    Selain alasan di atas, menurut Mutjaba, alasan lainnya mereka ingin UU ITE direvisi adalah karena maraknya kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik dan kepemilikian infrastruktur informasi. “UU ITE seharusnya mengatur pidana yang berkaitan dengan kejahatan siber, bukan pidana konvensional,” ungkap Mutjaba.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here