More

    Pengalaman Menyelesaikan Studi Doktoral di Australia

    AUSTRALIA NETWORK
    Alex Senaputra

    Alex Senaputra (tengah) ketika menerima beasiswa tambahan dari salah satu badan riset di negara bagian Australia Barat.
    Alex Senaputra (tengah) ketika menerima beasiswa tambahan dari salah satu badan riset di negara bagian Australia Barat.

    Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel di website Australia Plus (11/02/2015) tentang mahasiswa(i) di Canberra yang terpaksa bertahan hidup dari mengais sampah. Sepertinya problematika finansial bukan sesuatu yang aneh untuk mahasiswa bahkan untuk penerima beasiswa seperti saya dulu.

    Status sebagai mahasiswa penerima beasiswa riset di luar negri bukan berarti saya bebas dari problematika finansial. Ketika saya menjalani pendidikan doktoral saya di Perth (Australia), saya hanya diberikan beasiswa penuh untuk 7 semester. Sementara itu sekitar 1 semester saya habiskan untuk menunggu bahan kimia khusus yang dikirim dari Amerika Serikat. Aspek legal dan logistik membuat saya harus menunggu sebelum saya bisa mendapatkan bahan kimia tersebut, yang tanpanya tidak mungkin saya memulai riset saya.

    - Advertisement -

    Di pertengahan masa studi pun, saya menemukan banyak masalah yang tidak terduga seperti hasil percobaan tidak seperti yang diinginkan ataupun masalah dengan alat di laboratorium yang membuat saya harus menunggu untuk jangka waktu yang signifikan. Ini membuat saya terlambat dalam menyelesaikan studi saya dan saya pun harus membiayai sendiri keterlambatan tersebut.

    Saya bukan satu-satunya penerima beasiswa penuh yang mengalami masalah finansial. Banyak juga teman menghadapi masalah serupa ketika besaran beasiswa yang diberikan tidak cukup untuk biaya hidup keluarga atau ketika beasiswa acapkali datang terlambat. Sering saya melihat si penerima beasiswa dan pasangan hidupnya harus bekerja serabutan di luar jam kuliah demi mencukupi kebutuhan.

    Mencari dan menjalani apa saja
    Ketika kuliah sudah setengah jalan, maka pilihan yang tersisa tentunya hanyalah bagaimana menyelesaikannya. Kita tentu dapat mengencangkan ikat pinggang akan tetapi jumlah yang dapat disisihkan belum tentu mencukupi untuk biaya kuliah dan hidup kita. Ya, bekerja di luar jam kuliah adalah salah satu opsi tetapi bukan satu-satunya. Institusi pendidikan di Australia juga banyak menyediakan top-up scholarship.

    Top-up scholarship atau beasiswa tambahan biasanya diberikan kepada mereka yang telah menerima beasiswa penuh dan jumlahnya berkisar antara 10-20% dari yang telah diterima. Beasiswa tambahan ini dapat bersifat merit-based (berdasarkan prestasi) ataupun need-based (berdasarkan kebutuhan) dan biasanya diiklankan secara internal di website kampus. Saya sendiri walaupun mendapatkan merit-based top scholarship dari salah satu badan riset mineral dan energi di Australia Barat juga tetap harus bekerja paruh waktu.

    Berbagai pekerjaan paruh waktu yang telah saya jalani. Yang utama adalah menjadi pekerja freelance untuk beberapa perusahaan pertambangan di Indonesia. Saya cukup beruntung mempunyai network di Indonesia dimana secara berkala saya dikirimi kerjaan untuk diselesaikan dari jauh. Selain itu, saya juga pernah menjadi cleaning service, berjualan barang dari/ke Indonesia, menulis artikel di surat kabar/majalah sampai membantu acara di konsulat ketika mereka membutuhkan tambahan tenaga. Capai? Sangat tapi intinya saya siap menjalani apa saja untuk menyelesaikan kuliah saya.

    Membentuk pribadi
    Sebuah pertanyaan yang selalu ada di benak saya adalah: “Apakah jika saya tidak perlu melakukan segala aktivitas non-akademik di atas maka akankah prestasi akademik saya lebih baik?”. Mungkin saja, tapi satu yang tidak bisa saya dipungkiri, setiap problema yang saya hadapi ketika saya berkuliah di Australia membuat saya menjadi pribadi yang berpikir kreatif.

    Sebagai contoh, saya tahu bahkan ada kemungkinan saya tidak bisa menyelesaikan studi tepat waktu karena suatu hal yang tidak bisa saya prediksi. Sebelum mengundurkan diri dari perusahaan tempat bekerja dulu untuk kemudian melanjutkan studi doktoral, saya telah memohon ijin pimpinan perusahaan tersebut untuk tetap membantu ketika ada proyek yang sesuai bidang keilmuan saya. Dengan demikian saya mempunyai tambahan pemasukan.

    Lebih dari itu, saya juga telah mengubah diri saya dari yang tadinya introvert, menjadi seseorang yang lebih people-oriented. Saya sangat sadar saya tidak bisa menyelesaikan perjalanan ini sendirian. Semakin banyak sahabat yang saya memiliki, semakin banyak pula orang yang mungkin menolong saya. Banyak yang tidak tahu bahwa selama 4 tahun kuliah doktoral saya, 1 tahun diantaranya saya dijinkan tinggal gratis di kediaman beberapa sahabat dari berbagai negara dan latar belakang. Ini tentu sangat membantu saya berhemat.

    Terbiasa dalam menghadapi masalah, berpikir kreatif dan getol membangun networking juga yang kemudian mendaratkan saya di Amerika Serikat. Jauh sebelum saya menyelesaikan studi saya, saya telah ditawari pekerjaan di salah satu perusahaan di Amerika Serikat karena mereka melihat saya “berbeda” dari kandidat-kandidat doktor lainnya.

    Rasa capai, lapar dan tidak tahu bagaimana saya bisa membiayai kuliah tidak sedikit pun menyurutkan semangat saya untuk menyelesaikan studi. Saya percaya kemampuan saya untuk menyelesaikan studi hanya ditentukan oleh kemauan saya untuk menyelesaikan studi. Demikian artikel ini ditulis untuk menyemangati teman-teman yang sedang mengalami apa yang pernah saya alami. []

    *Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Alexander Senaputra, yang menyelesaikan studi doktoralnya di bidang ilmu pengolahan mineral di Curtin University – Perth (Australia) sekarang bekerja di Amerika Serikat.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here