More

    Akademisi di Melbourne Bahas Islamisasi di Indonesia

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    L. Sastra Wijaya

    Pembicara dari kiri: Greg Barton, Julian Milie, Ariel Heryanto, Arianto Patunru, dan Antje Missbach.
    Pembicara dari kiri: Greg Barton, Julian Milie, Ariel Heryanto, Arianto Patunru, dan Antje Missbach.

    Proses Islamisasi di Indonesia menjadi salah satu topik yang dibahas dalam seminar Indonesia Today yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial Monash University hari Kamis (28/05/2015) di Village Roadshow Theater di pusat kota Melbourne.

    Dosen Universitas Monash, Julian Millie membahas apa yang disebut sebagai Islamisasi yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Tema besar seminar adalah apa yang menjadi masalah paling besar dalam kehidupan di Indonesia saat ini. Bagaimana prospek dan tantangan yang dihadapi di tahun 2015 dan setelahnya.

    - Advertisement -

    Selain Julian Millie tampil juga dosen dari Monash lainya Prof. Greg Barton yang membahas mengenai Islam dan Demokrasi di masa pemerintahan Jokowi: persepsi, realitas dan konteksnya.

    Masalah ekonomi dibahas oleh dosen dari Australian National University di Canberra, Arianto Patunru, sementara dosen asal Indonesia lainnya yang juga sekarang mengajar di ANU Ariel Heryanto membahas mengenai budaya populer yang ada di Indonesia saat ini.

    Sementara itu, Antje Missbach juga dari Monash membahas mengenai kebijakan Indonesia mengenai pengungsi.

    Dalam bahasannya, Julian Millie mengatakan dibandingkan 20-30 tahun lalu, Indonesia sekarang lebih Islami. Ini bisa dilihat dari cara berpakaian para wanita Indonesia sekarang.

    “Kalau kita perhatikan foto-foto di masa lalu dalam pertemuan NU atau Muhamadiyah misalnya hampir tidak ada yang mengenakan jilbab. Sekarang, semua mereka mengenakan jilbab,” kata Millie.

    Melihat dari kacamata di atas menurut Millie, Indonesia memang lebih Islami. “Namun pertanyaan berikutnya adalah apa artinya lebih Islami tersebut. Kata Islamisasi sendiri tidak memberikan contoh yang konkrit mengenai apa yang terjadi,” kata Millie.

    Mengambil contoh apa yang pernah dilakukan dai AA Gym yang berhasil membangun bisnis sambil berdakwah, Millie mengatakan bahwa para pegiat Islam di Indonesia dengan cepat menggunakan banyak ide budaya yang sudah ada di Indonesia untuk menyebarkan pengaruh mereka.

    “Mereka mengkombinasikan dengan hal-hal modern seperti psikologi, manajemen, motivasi dan lainnya untuk menarik pengikut. Fenomena da’i cilik misalnya dimulai dari acara televisi. Sekarang kita melihat di pesantren pada da’i cilik sengaja dilatih,” tambah Millie.

    Namun di tengah semua itu, menurut Miliie, mereka yang berharap bahwa kini semakin dominan warga muslim Indonesia yang lebih religius atau lebih taat dalam menjalankan agamanya, akan kecewa, karena hal tersebut tidak terjadi.

    “Saya mendengar banyak keluhan bahwa walaupun begitu banyak kita lihat orang yang berlomba mengajarkan Islam di Indonesia namun kemajuan tidak banyak. Ada yang mengatakan yang terjadi adalah seperti “kita hanya berlari di tempat”,” kata Milie.

    Senada dengan Millie, Ariel Heryanto dalam pembahasannya mengatakan yang ada di Indonesia sekarang ini adalah fenomena Islam pop. Hal-hal yang berhubungan dengan Islam sangat populer mulai dari buku, film, fashion, musik.

    Dalam waktu yang bersamaan, juga terjadi fenomena Asianisasi dimana warga di Indonesia berpaling ke Timur, dengan munculnya fenomena seperti K-pop dimana Indonesia adalah pecinta K-pop terbesar di dunia.

    “Saya pernah menghadiri sebuah pertunjukkan oleh kelompok K-pop. Selain beberapa pria, ada sekitar 2000 orang remaja yang hadir, banyak di antara mereka mengenakan jillbab. Namun ini tidak membuat mereka tidak menyukai budaya pop dari Korea tersebut.” tambah Ariel Heryanto.

    Dalam acara hari Kamis malam tersebut, juga diluncurkan dua buku terbaru mengenai Indonesia.

    Yang pertama berjudul Linking People: Connections and encounters between Australians and Indonesians oleh Antje Missbach dan Jemma Purdey. Buku kedua berjudul Identity and Pleasure: The politics of Indonesian Screen Culture oleh Ariel Heryanto. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here