More

    Geliat Sastra di Kampus Kehilangan Arah

    Hartanto Ardi saputra

    Iman Budhi santosa, Sastrawan  Jogja angkatan 80an membacakan orasi kebudayaan dalam acara pentas seni "Sastra Musim Pancaroba" di UIN Yogyakarta, Sabtu, (06/06/2015). FOTO : Hartanto Ardi saputra
    Iman Budhi Santosa, Sastrawan Jogja angkatan 80-an membacakan orasi kebudayaan dalam acara pentas seni “Sastra Musim Pancaroba” di UIN Yogyakarta, Sabtu, (06/06/2015). FOTO : Hartanto Ardi saputra

    YOGYAKARTA, KabarKampus – Geliat sastra di berbagai kampus saat kini kehilangan arah dan makna. Sesuatu yang prinsipil dari sastra itu tergerus oleh logika untung dan rugi.

    Hal ini disampaikan  Iman Budhi Santosa, Sastrawan  Jogja angkatan 80-an dalam orasi kebudayaan di  malam pentas seni “Sastra Musim Pancaroba” yang digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Sabtu, 06/06/2015)

    - Advertisement -

    “Tuntutan menulis sastra itu sangat sepiritual. Bukan untuk dipamerkan karena dimuat media massa dan mendapat honor,” ujarnya.

    Iman menjelaskan, logika untung rugi tersebut membuat mahasiswa hanya ingin berkarya jika dirasa menguntungkan bagi diri sendiri. Hal itu akan menciptakan karya yang tidak total.

    “Kalau anda (mahasiswa)  menulis sastra hanya sekedar untuk tampil di panggung, maka hanya seperti penyanyi dangdut yang orientasinya sekedar  tampil  di panggung,” ujarnya.

     

    Semestinya, kata Iman,  sastra yang dihasilkan kalangan mahasiswa dapat menjadi inspirasi masyarakat dan mengurai masalah di lingkungan sosial. “Jadilah Sastrawan seperti pohon beringin yang mengeluarkan mata air sehingga dapat memberi penghidupan sekitarnya,” tambahnya.

    Sastrawan muda, Sohifur Ridhi Ilahi, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, berpendapat bahwa kehidupan kampus saat kini menjadi tempat nongkrong, bukan lingkungan menciptakan kreatifitas. Banyak sastrawan dan karya sastra yang lahir di luar ruang perkuliahan.

    “Itu berbeda dengan tahun 80an dimana kampus benar-benar menjadi pusat kajian yang menciptakan karya sastra.”

    Apa yang dikatakan Sohifur ini sejalan dengan Muhammad Akip Aunulhaq, pengurus komunitas Kopi Nyastro. Ia mengatakan sastrawan besar itu lahir dari komunitas di luar ruang perkuliahan. “Kita biasa melihat banyak fakultas sastra di berbagai Universitas gagal menciptakan ruang kuliah yang memacu kreatifitas,” ujarnya.

    Akip menambahkan, kondisi itu diperparah dengan adanya aturan maksimal lulus kuliah pada semester 10. “Aturan lulus dalam waktu lima tahun membuat masa perkuliahan semakin singkat,” katanya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here