More

    Linda Christanty : “Bacalah Buku Bermutu”

    Hartanto Ardi Saputra

    Linda Christanty saat membacakan cerpen
    Linda Christanty saat membacakan cerpen dalam acara “Wisata Sastra: Tujuh Penulis Membaca Karya”, UGM Yogyakarta, (12/06/2015). FOTO : Hartanto Ardi Saputra

    Penulis Linda Christanty (45) punya cerita kenapa jatuh cinta pada sastra. Baginya, kecintaan terhadap sastra dan dunia menulis tumbuh beriringan dengan membaca.

    “Kalau kita membaca, pasti juga ingin menulis. Tidak mungkin kita dapat mencintai atau menghidupkan sastra tanpa mencintai membaca. Itu pengalaman pribadi saya,” ujar Linda, saat acara “Wisata Sastra: Tujuh Penulis Membaca Karya” di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (12/06/2015).

    - Advertisement -

    Nama Linda Christanty adalah nama yang populer dalam jagat dunia sastra di Indonesia bahkan dunia internasional. Saat berusia 19 tahun, perempuan cantik ini pernah mendapatkan penghargaan bergengsi dari Kompas. Cerpennya berjudul ‘Daun-Daun Kering’ dimuat dalam ‘Riwayat Negeri yang Haru : Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990’.

    Linda Christanty tak berhenti di situ. Ia sadar untuk menciptakan karya sastra yang bagus harus dimulai dengan membaca buku bermutu. Temanya bisa apa saja.

    “Bacalah buku apa saja yang bermutu. Tidak harus sastra. Misalkan buku tentang astronomi, bagaimana terjadinya alam semesta.”

    Menurut Linda, dari ragam buku itulah kita mendapatkan pengetahuan. Bahan dasar untuk menulis yang kemudian dikombinasikan dengan fakta-fakta terbaru di lapangan. Linda selalu punya strategi untuk mengemas informasi yang “lama” menjadi “baru” dan melihat hal-hal kecil yang penting namun luput dari pengamatan orang banyak. Ini berkat hidupnya di dua dunia yakni jurnalisme dan sastra. Sehingga tulisan Linda selalu bisa mengantarkan pembaca ke dalam pokok persoalan konflik. Memikat dan kritis.

    Salah satu karya Linda berjudul “Kuda Terbang Maria Pinto” menyabet penghargaan yang banyak diinginkan sastrawan Indonesia, yakni Khatulistiwa Literary Award, tahun 2004.

    Begitu pula saat Linda Christanty menulis berita. Ia dikenal sebagai jurnalis yang teliti dan gigih. Oleh sejumlah jurnalis muda yang pernah bekerjasama dengannya, Linda Christanty termasuk redaktur atau editor yang “galak”. Ia tak ingin para jurnalis atau penulis muda cepat puas membuat sebuah laporan jurnalistik atau sastra.

    Ia menulis dengan hati nuraninya.

    Buku berjudul “Dari Jawa Menuju Atjeh Kumpulan Tulisan Tentang Politik, Islam dan Gay” (2010), esai berjudul ‘Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste’, dan buku “Jangan Tulis Kami Teroris” adalah diantara karya-karya Linda yang berdasarkan pengalaman reportase yang mendapatkan penghargaan. Reportase adalah sebuah metode yang menitikberatkan pada pengamatan, pencarian nara sumber, serta data yang akurat.

    Kini, perempuan kelahiran Bangka, 18 Maret 1970, tengah menyelesaikan sebuah novel terbaru dan film dokumenter tentang sejarah Gerakan Aceh Merdeka. Dalam film ini, ia mewancarai para gerilyawan. “Mengapa mereka dulu ingin merdeka?” ungkap Linda Christanty yang juga anggota Dewan Kesenian Jakarta (2013-2015).

    Aceh sepertinya punya daya pikat tersendiri bagi Linda Christanty. Baik secara personal maupun geopolitik Aceh yang selalu dinamis.

    Di Serami Mekah ia terlibat dengan beragam aktivitas kemanusiaan disamping menulis untuk media. Lulusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini, pernah mendapatkan penghargaan ‘Suara Perempuan Award 2010’ katagori Perempuan dan Media dari Radio Komunitas Suara Perempuan Aceh, ia juga sebagai Pemimpin Redaksi Aceh Feature Service.

    Setiap pengalaman hidup itu ia tulis dengan memikat. Untuk bisa seperti Linda, kuncinya sederhana, membaca buku bermutu.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here