More

    Nasionalisme Etnis Tionghoa Dalam Bingkai Kedai Kopi

    HARTANTO ARDI SAPUTRA

    Pertunjukkan musik "Serbuk Pahit dan Jalan-jalan sempit" di kampus UGM, Yogyakarta, Senin, (22/06/2015). FOTO : Hartanto Ardi saputra
    Pertunjukkan musik “Serbuk Pahit dan Jalan-jalan sempit” di kampus UGM, Yogyakarta, Senin, (22/06/2015). FOTO : Hartanto Ardi saputra

    Seorang pria bernama Theodorus Christanto berdiri di depan meja sebuah kedai kopi dan membacakan naskah cerpen karya Gunawan Maryanto yang ada di tangannya. “Kopi menyerap segenap bau yang tertinggal di dalam tubuhmu. Ia menyimpan bau asap. Ia menyimpan banyak hal yang mungkin telah dilupakan.”

    Kemudian, alunan musik mengiringi pembacaan cerpen tersebut. Semakin lama ritme musik semakin cepat.

    - Advertisement -

    Kolaborasi antara pembacaan cerpen dan musik ini merupakan sebuh pertunjukkan musik berjudul “Serbuk Pahit dan Jalan-jalan Sempit” karya Erwin Soebiantoro di PKKH UGM yang digelar, Sabtu (20/06/2015). Pertunjukkan ini mengisahkan nasionalisme etnis Tionghoa terhadap Indonesia dengan latar belakang sebuah kedai kopi

    “Jadi musik menghidupkan cerpen itu. Sebaliknya cerpen juga menghidupkan musik. Jadi seperti nonton film,” ujar Erwin Soebiantoro menjelaskan pertunjukkannya.

    Erwin mengaku, ide pertunjukan musik ini terinspirasi dari kedai Es Kopi Tak Kie milik Babah Ayao di Gang Gloria, Glodok, Jakarta. Kedai tua tersebut berdiri melewati tiga peristiwa heroik di negeri ini, mulai dari Revolusi 1945, massa pergerakan 1965, dan Reformasi 1998.

    “Kedai ini masih ada sampai sekarang dengan karakter yang tetap sama di tengah banyaknya coffee shop modern,” ujar Erwin.

    Menurut Erwin, kedai kopi ini hadir di tengah berbagai gejolak politik di Indonesia. Termasuk ketika terjadi prahara yang menimpa etnis Tionghoa saat reformasi 1998. Ketika itu babah Ayao tetap merasa sebagai warga negara Indonesia. Erwin menangkap dari perjalanan kedai kopi tersebut ada kisah nasionalisme Babah Ayao, yang merupakan seorang keturunan Tionghoa.

    “Musik dan cerpen ini mewakili semangat nasionalisme yang masih ada. Nasionalisme itu bukan karena Anda bisa menyanyi Indonesia Raya, tapi apa yang anda lakukan untuk Tanah Air Indonesia,” jelas Erwin.

    Sementara itu, Higna Putri salah satu pengunjung mengaku merasa terkesan dengan konsep pertunjukan musik tersebut. “Saya sangat terkesan karena konser ini mirip prosa yang diceritakan,”ujar mahasiswi Sastra Inggris UGM ini.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here