More

    Seruni Bodjawati, Matahari Tengah Malam

    Hartanto Ardi Saputra

    Seruni Bodjawati. Foto : Hartanto Ardi Saputra
    Seruni Bodjawati. Foto : Hartanto Ardi Saputra

    Bagi Seruni Bodjawati (23), membagi waktu perkuliahan dan berkarya adalah kunci menjaga produktifitas dalam melukis. Berkat kejeliannya tersebut, ia tak hanya berhasil di dunia akademik, namun juga menghasilkan ribuan lukisan yang mampu mencuri perhatian Dewan Juri dalam penghargaan Kartini Awards 2012. Mahasiswa asal Yogyakarta ini terpilih sebagai perempuan terinspiratif dalam kategori Seni dan Budaya, menyisihkan enam nominator lain, diantaranya penyanyi Agnes Monica.

    Selain Kartini Awards 2012, Seruni juga meraih beberapa penghargaan lain seperti The Most Successful International Visual Art yang diselenggarakan komunitas seni Prancis La societe des Artistes Contemporains 2011, La Femme Award – The Power of Women diberikan oleh Leo Club Monas Jakarta (Lions Clubs International Organization) 2012, dan lukisan terbaik dalam Bazaar Art Awards 2011 di Jakarta.

    - Advertisement -

    Bahkan di usia belia, karyanya sudah menghiasai ruang pamer di luar negeri. Seperti di ajang Drawing Exhibition for My Mother di Melbourne, Australia, International Art Exhibition of Childern Drawing di Bukarest, Romania pada 1997, Budapest and Eger di Hongaria, dan beberapa Negara Eropa.

    “Tapi selama kuliah, saya merasa paling puas dengan karya berjudul Matahari Tengah Malam,” ujar Seruni yang menuntut ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.

    Lewat lukisan Matahari Tengah Malam inilah, ia berhasil mencetak sejarah sebagai perupa termuda. Selain itu ia juga pernah mendapat dua kali penghargaan karya lukis terbaik pada ajang Dies Natalis ISI.

    Meski memiliki segudang prestasi, namun bagi Seruni, prestasi dan penghargaan itu bukan menjadi tujuannya dalam berkarya. Menurutnya, meresapi proses berkarya merupakan hal yang lebih utama.

    “Kalau saya justru penghargaan itu enggak terlalu penting. Justru yang penting adalah prosesnya. Melukis itu dijiwai seperti meditasi,” ujarnya.

    Seruni, menentang pandangan pelukis yang melacurkan lukisannya dengan berharap akan laku dibeli kolektor. “Justru kalau melukis itu sangat diharamkan berfikiran nanti lukisannya akan laku berapa. Kadang orang itu melukis dengan harapan nanti karyanya laku terus kaya raya.”

    Lahir di Yogyakarta, 1 September 1991, Seruni merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Ia mewarisi darah seni orang tuanya. Ayahnya Sri Harjanto Sahid adalah sastrawan dan Ibunya, Wara Anindyah, seorang pelukis.

    “Ayah saya juga pemain teater. Dulu waktu kecil sering diajak liat pentas. Jadi nggak bisa lepas dari seni,” ujarnya.

    Dari latar belakang keluarga seniman itulah membuat orang tuanya menyekolahkan Seruni di SD Tamansiswa. Ia mengikuti berbagai ekstrakulikuler kesenian. “Di SD Tamansiswa keseniannya bagus. Saya diajari menari dan karawitan,” katanya.

    Selama bersekolah, Seruni tergolong murid yang maju dalam hal pelajaran. Hal itu dibuktikan saat ia melanjutkan ipada jenjang SMP dan SMA. Ia diterima di sekolah yang tergolong favorit di kota Jogja, yaitu SMP N 2 dan SMA N 1.

    Keinginan mempelajari khasanah ilmu seni semakin kuat saat lulus SMA. Ia memilih kuliah pada Jurusan Seni Murni, ISI Yogyakarta. Ia pun rajin mengikuti perkuliahan di ruang kampus.

    “Harus mempelajari ulang pengetahuan yang di ajarkan saat kuliah. Wacana dan wawasan itu sangat penting. Karena nggak mungkin pelukis itu hanya di studio,” ujarnya.

    Seiring berkembangnya wacana dan pengetahuan Seruni, ide-ide lukisannya pun semakin beragam. Ia mengaku selalu meluangkan waktu untuk membaca. “Banyak mahasiswa yang jarang membaca malah sibuk berkarya. Biasakanlah kalau sebelum tidur untuk membaca buku.”

    Menurut Seruni, produktifitas melukis itu berbanding lurus dengan pengetahuan dan wacana seorang perupa. Karena berbagai pengetahuan dan wacana itu akan melahirkan ide.

    “Ide itu datang dari berbagai pengalaman. Tapi untuk ide yang bersifat wacana datangnya dari baca buku. Karena buku itu sumber inspirasi seperti guru,” jelas Seruni.

    Selain melahirkan banyak ide, Seruni menekankan pentingnya manajemen keuangan. Sebab, dalam merealisasikan ide dalam lukisan juga membutuhkan biaya. Ia berusaha menabung saat di perkuliahan.

    “Uangnya dari lukisan kembali untuk melukis. Kalau ada lukisan yang laku, enggak buat foya-foya, tapi ditabung untuk beli kanvas atau cat,” ujar Seruni.

    Walau demikian, menurutnya perihal ekonomi bukan menjadi kendala. Perupa dituntut berfikir kreatif. “Jangan menyerah. Kalau nggak ada acrilite bisa diganti pakai tinta. Kalau enggak ada kanvas, melukislah di kertas. Kalau enggak ada kertas, melukislah di tanah. Kalau enggak ada tanah, maka melukislah di awan, nanti kalau ada uang baru dituangkan di media lain,” ujarnya sambil tersenyum.

    Meski telah memiliki segudang prestasi lewat seni lukis, tak membuat Seruni berhenti untuk terus belajar. Kini perempuan yang berhasil meraih IPK 3,9 ini, sedang bersiap melanjutkan kuliah Seni Rupa Murni di ISI, Yogyakarta. “Sekarang saya melanjutkan belajar di Pasca Sarjana ISI, jurusan Seni Rupa Murni. Besok September (2015) baru masuk kuliah.”

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here