More

    Balada Hidup-Mati Kampung Dangko Makassar

    Penulis: Derry Perdana Munsil,  Penggiat Gerakan Sosial Aksi Indonesia Muda

    Derry Perdana Munsil
    Derry Perdana Munsil

    Kampung Dangko adalah sebuah kampung kecil nan padat yang terletak di Kota Makassar. Di kampung ini bermukim banyak masyarakat mantan penderita eks kusta dari berbagai daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Data terakhir yang diperoleh tahun 2014, jumlah warga mantan penderita kusta ada sekitar 540 orang. Sedangkan sisanya merupakan keluarga mereka.

    Mantan penderita eks kusta ini telah berada di kampung Dangko sejak jaman Belanda. Ketika itu pemerintah Belanda sengaja mengisolasi dan mengasingkan penderita kusta ke Kampung Dangko dari masyarakat luar

    - Advertisement -

    Sejak itu stigma negatif pun tumbuh. Bahkan mantan penderita kusta ini banyak yang mendapat hujatan warga. Stigma itu pun masih tetap berlangsung meski obat penyakit ini telah ditemukan pada tahun 90-an.

    Stigma inilah yang kemudian menjadikan mantan penderita kusta kesulitan mendapat pekerjaan yang layak. Tidak jarang mayoritas warga dari Kampung Dangko berpasrah diri dan memilih jalan sebagai pengemis di Kota Makassar. Alasannya macam-macam, ada yang karena keterbatasan fisik, susah dapat akses terhadap pekerjaan yang layak, minimnya pendidikan dan karena diskriminasi dari masyarakat luar.

    Membedah secara “fair”

    Di atas kertas mengelola Dangko itu mudah. Namun sejujurnya mengelola Kampung Dangko tidak semudah yang direncanakan oleh siapapun atau bahkan oleh pemerintah sekali pun. Karena konsep yang sudah matang bisa berubah drastis ketika diaktualisasikan di lapangan. Segalanya serba sulit, sesulit mencari jodoh sepertinya.

    Ada sebagian warga Kampung Dangko yang sengaja ingin dibilang miskin supaya terus mendapat bantuan. Ada pula yang sengaja mengemis supaya dapat belas kasihan dari masyarakat. Pola pikir ala “inlander” ini seolah terpancang dalam benak sebagian warga, khususnya dalam hal mata pencaharian.

    Bahkan, pemerintah Kota Makassar menganggap warga Kampung Dangko sangat riskan kalau dibiarkan terus bertambah. Selain karena warga Kampung Dangko mudah dimobilisasi untuk melakukan aksi demonstrasi yang ditujukan kepada pemerintah, mereka juga dicap sebagai masyarakat “kelas dua” yang dinilai merusak cita-cita pemerintah Makassar sebagai kota dunia.

    Anggapan ini didasari oleh dua faktor utama yakni adanya kelompok kecil yang bertingkah layaknya preman yang dengan sengaja “mengatasnamakan” warga Kampung Dangko untuk meminta dana bantuan ke pemerintahan. Kedua, dikarenakan kampung ini cukup produktif dalam menghasilkan pengemis yang bertebaran di sudut jalan Kota Makassar. Bahkan karena begitu frustasinya  Pemkot menghadapi warga Kampung Dangko, Dinas Sosial Kota Makassar hendak memulangkan para penderita kusta ke daerah asalnya.

    Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi di sini, yaitu: Kampung Dangko bukan kampung yang dengan mudahnya menebarkan virus penyakit kusta. Karena mereka adalah mantan penderita kusta yang mendapatkan bantuan pengecekan kesehatan rutin tiap minggu dari Rumah Sakit Kusta Daya.

    Kemudian, tidak semua warga di kampung ini bermental pengemis. Ada banyak Warga Dangko yang memiliki semangat untuk hidup mandiri dan punya rasa malu. Sayangnya mereka minim akses, modal usaha dan keterampilan.

    Selanjutnya, tidak semua warga di kampung ini yang dengan mudahnya mau dipreteli untuk jadi massa demo, apalagi untuk kepentingan perorangan yang jelas-jelas tidak menyangkut hajat hidup mereka.

    Dan yang terakhir, warga Kampung Dangko adalah warga yang datang dari segala penjuru daerah di Sulawesi Selatan. Kemudian mereka memilih menetap di Kampung Dangko karena mereka merasa terbuang, terkucilkan dan malu dengan keluarga yang ada di kampung.

    Coba kita pikir bersama-sama, seandainya semua orang berpikir seperti itu. Warga Kampung Dangko bisa “diekspor” ke luar negeri. Hal itu terjadi karena pemerintahnya tidak mau pusing dan tidak diterimanya warga Kampung Dangko hidup di perkotaan.

    Mencari jalan keluar

    Warga Kampung Dangko membuat keset untuk dipasarkan kepada masyarakat. Dok. Derry.
    Warga Kampung Dangko membuat keset untuk dipasarkan kepada masyarakat. Dok. Derry.

    Solusi dari kebiasaan yang sejak lama terbangun, ini jelas tidak bisa diselesaikan dalam satu atau dua hari saja.

    Segalanya mesti berproses! Dalam satu buku yang pernah ditulis Sritua Arief, pembangunan perkotaan yang humanis sebenarnya jauh lebih moderen ketimbang mewahnya pembangunan yang sifatnya material. Berangkat dari situ, sedikit menyimpulkan kota dunia itu wajib memprioritaskan aspek riil kemanusiaan termasuk kemiskinan dan pendidikan. Tidak melulu soal infrastruktur atau apa-apa yang hanya nampak di depan hidung supaya dapat prestise di media massa atau mungkin cari nama saja.

    Sebaik-baik pemerintahan ialah pemerintahan yang mendorong dan mengayomi masyarakat. Bukan pemerintah yang malah meminggirkan dan antipasti terhadap masyarakatnya.

    Alhasil, pemerintah merasa pesimis dengan semua program yang hendak dijalankan. Kemudian karena merasa tidak efektif, minim dampak, dan tidak berhasil menghilangkan pengemis, warga Kampung Dangko yang jadi kambing hitam.

    Karena itu solusi untuk Kampung Dangko ini memang perlu dibreakdown dan dibedah secara objektif. Pola pikir mesti jadi sasaran utama lalu mencarikan keterampilan yang pas dan menjaminkan pasaran yang prospektif.

    Peran pemerintah sangat diharapkan untuk menjadi stimulan yang menggerakkan. Kami meyakini keberhasilan sepenuhnya ditentukan dari seberapa berat perjuangannya bukan melalui “invisible hand” yang datangnya dari hasil lamunan.

    Jika pemerintah terlalu banyak pesimis, lebih baik jangan jadi birokrat. Kalau mau programnya berhasil dengan cara yang instan alias tidak ribet, mending makan mie instan saja!!

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here