More

    Memilih Tanpa Kewarganegaraan di Praha

    Koentyo Soekadar
    Koentyo Soekadar

    Pergantian kepimimpinan di Republik Indonesia dari Presiden Sukarno ke Suharto pada tahun 1968 menjadi polemik diantara para mahasiswa yang sedang belajar di Kota Praha, Republik Ceko. Ketika itu mereka diharuskan menandatangani surat dukungan kepada pemerintah Suharto. Bila tidak, para mahasiswa bisa kehilangan kewarganegaraan.

    Suasana yang pada awalnya kondusif berubah menjadi membingungkan. Karena informasi yang beredar di kalangan mahasiswa ketika itu Suharto mengkudeta Presiden Sukarno. Sementara para mahasiswa ini merupakan pelajar yang dikirim Soekarno untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.

    Ketika itu, dari 200 mahasiswa Indonesia yang ada di Kota Praha, sebanyak 100 mahasiswa menyatakan menolak mendukung Suharto. Artinya ada 100 mahasiswa yang tidak punya kewarganegaraan.

    - Advertisement -

    Salah satunya adalah Koentyo Soekadar, seorang mahasiswa Teknik Kimia di salah satu perguruan tinggi di Praha. Saat diminta untuk menandatangani dukungan, ia dengan tegas mengatakan kepada orang KBRI, tidak akan menandatangani dukungan kepada Suharto.

    “Saya katakan kepada KBRI ketika itu, Sukarno saya kenal, dia yang mengirimkan saya ke sini. Suharto siapa? Saya ngga tau. Jadi saya tidak akan menandatangani sesuatu yang saya tidak tahu,” kata Koentyo menceritakan kisahnya kepada KabarKampus di Jakarta, Senin, (25/01/2016).

    Seketika itu juga pihak KBRI tidak mau menandatangani pasport milik Koentyo dan memusuhi Kontyo muda. Sikap Kentyo ini pun tidak hanya membuatnya ia hilang kewarganegaraan, namun juga dia dicap sebagai komunis.

    Koentyo menuturkan, apa yang ia putuskan bukanlah keputusan yang emosional. Melainkan diambil dengan matang. Karena sebelumnya para mahasiswa yang ada di Praha telah memperhitungkan, baik dan buruknya menolak mendukung Suharto.

    Apalagi mereka mengetahui, ternyata mahasiswa yang menandatangani dukungan terhadap Suharto, ditangkap dan dimasukkan ke bui saat pulang ke Indonesia. Para mahasiswa itu ditangkap karena dicurigai sebagai komunis.

    “Dari sana kami makin yakin, kalau mereka cuma menipu. Inilah yang menyebabkan kami ngga mau kompromi dengan mereka,” ungkap pria kelahiran Surabaya ini.

    Ia menegaskan, sebagian besar mahasiswa yang dikirimkan ke Praha ini adalah nasionalis. Seperti dirinya yang merupakan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMN) yang menganut paham Marhaenisme. Sementara mereka dikirim Soekarno untuk mengabdikan apa yang dipelajari kepada rakyat.

    Koetyo mengaku, sebagai orang yang dicap komunis oleh pemerintah Indonesia, ia mengalami kesulitan  berkomunikasi dengan orang tuanya di Indonesia. Karena itu, ia mengirim surat dari alamat yang berbeda-beda dan tanpa nama. Meskipun di Ceko, ia mengirimkan surat dari Belanda. Hal itu ia lakukan agar keluarganya tidak terimbas sikap politiknya yang menentang Suharto.

    Dari surat-surat yang dikirim, Ayah Koentyo pernah membalas salah satu suratnya. Surat itu berisi dukungan untuk tetap tinggal di Ceko. “Ayah bilang tinggal saja di sana. Nanti dia akan kasih kabar kapan saya dibutuhkan Indonesia. Jadi jangan percaya sama pemerintah Suharto. Dia penipu, banyak kawan-kawan masuk bui karenanya,” cerita Koentyo.

    Meski tanpa kewarganegaraan Koentyo dan mahasiswa lainnya masih tetap bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa dari Pemerintah Ceko. Dari beasiswa tersebut mereka mendapatkan uang sebesar 700 Koruna.

    “Di sana kami ngga bayar kuliah lagi. Dari 700 Koruna, 60 koruna dipakai bayar tempat tinggal. Di sana juga sekali makan cuma 2 Koruna. Jadi uang dari pemerintah Ceko lebih dari cukup,” tutur Koentyo yang lahir di Surabaya 1 Febuari 1938 ini.

    Namun tak lama setelah itu, Keontyo lulus kuliah. Ia kemudian bekerja sebagai asisten lab di lembaga penelitian Ceko dengan gaji sebesar 1200 Koruna. Tapi kalau liburan musim panas, ia biasanya pergi ke Jerman Barat untuk bekerja sebagai pencuci piring atau angkat-angkat di pasar. Pokoknya pekerjaan kasar.

    Namun hidup Koentyo di Praha, bukan tanpa kegelisahan. Ketika terjadi revolusi Beludru, ia marah terhadap Rusia yang menculik aktivis-aktivis di Kota Praha. Dari sana ia kemudian mencongkeli papan-papan nama jalan supaya orang yang hendak diculik tidak ditemukan. Pihak Rusia kehilangan alamatnya karena nama jalan hilang semua.

    Setelah itu ia dicurigai terlibat dalama revolusi Beludru. Dari sana, ia mulai diburu oleh orang Rusia. Hingga akhirnya Direktur tempatnya bekerja menghimbau agar ia menyelamatkan diri dengan keluar dari Ceko.

    Koentyo pun pindah ke kota Jerman Selatan dan dengan dengan kamampuan yang dia miliki dia pindah dari kota ke Kota. Selanjutnya ia menikah dengan perempuan Jerman dan memiliki anak. Koentyo baru mendapatkan kewarganegaraan Jerman pada tahun 1978 dan baru mulai memberanikan diri ke Indonesia pada tahun 85. Karena merasa aman, Koentyo pun jadi sering bolak-balik Indonesia hingga sekarang.

    Di Indonesia, Koetyo menjalankan berbagai proyek untuk masyarakat Indonesia. Seperti proyek pengolah sampah, pengolah garam untuk masyarakat, lampu celub bawah air untuk menangkap ikan, dan sebagainya. Semuanya menjurus kepada teknologi yang pro rakyat dan padat karya serta selalu memakai energi terbarukan.

    Menurut Koentyo semuanya ia lakukan untuk menunaikan janjinya kepada Soekarno. Ia ingin ilmu yang diperoleh di Ceko bisa bermanfaat bagi masyarakat, terutama masyarakat Indonesia.

    Sekarang usia Koentyo 77 tahun dan pada 1 Febuari mendatang akan berusia 78 tahun. Koetyo mengaku hingga sekarang, ia tidak pernah menyesali keputusannya ketika di Praha.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here