More

    Kesadaran Menjadi Gila Untuk Mencegah Korupsi

    Gusjur, pendiri Teater Tarian Mahesa dan lulusan UPI Bandung menerbitkan Antologi Puisi: Mending Gelo Dari Pada Korupsi di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung. FOTO : ENCEP SUKONTRA
    Gusjur Mahesa, pendiri Teater Tarian Mahesa dan lulusan UPI Bandung menerbitkan Antologi Puisi: Mending Gelo Dari Pada Korupsi di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung. FOTO : ENCEP SUKONTRA

    Selintas, sajak-sajaknya mirip dengan puisi-puisi WS Rendra yang lugas. Bedanya, sajak Gusjur Mahesa lebih lugas lagi, bahkan vulgar saat menyodok sasaran lewat diksi-diksinya yang sederhana.

    Tidak ada metafora padat seperti burung gagak, merak, angsa sebagaimana dipakai WS Rendra, sang guru yang turut mengantarkan Gusjur Mahesa menekuni dunia lakon.

    Agus Priyanto atau lebih dikenal dengan nama panggung Gusjur Mahesa meluncurkan Antologi Puisi: Mending Gelo Dari Pada Korupsi di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Sabtu (16/04/2016) lalu. Kelugasan puisinya bisa ditemukan di buku berisi 60 puisi setebal 134 halaman itu.

    - Advertisement -

    Sebelum bedah buku, ENCEP SUKONTRA dari KabarKampus mewawancara anggota Bengkel Teater Rendra 1993-2000 itu. Mengenakan jaket khasnya yang penuh dengan tambalan, ia memilih tempat yang nyaman untuk wawancara, di café GIM di samping istrinya, pelukis Uun Rohayati.

    Kenapa kegilaan dipilih menjadi tema besar antologi puisi anda?
    Sebenarnya temanya macam-macam. Hanya saja semua puisi saya buat memakai pendekatan orang gila. Orang gila kan berpikir terbalik dari orang normal, itu sebabnya cover bukunya bergambar foto saya yang terbalik.

    Gusjur menunjukkan buku puisinya, yang berisi kumpulan puisi yang dibuat dari tahun 2013-2015. Cover buku bergambar foto dirinya yang terbalik, juga mengenakan jaket kebesarannya yang penuh bordelan. Di buku itu ia mengklaim sebagai Presiden Republik Gelo. Informasi tentang Republik Gelo dapat dicari di media sosial Facebook. Jika belum kuat iman, jangan pernah gabung ke grup diskusi tersebut.

    Bagaimana Anda memandang orang gila itu?
    Semua puisi seperti ditulis orang gila, dalam arti orang gila itu sederhana, tak butuh banyak, selalu cukup dengan yang dia miliki, dan tidak korupsi. Orang gila juga selalu sehat, tak pernah sakit, berpakaian secukupnya. Hidup orang gila ikhlas. Dan bukankah inti hidup kita ini sebenarnya ikhlas. Jadi gila di sini adalah gila yang disadari.

    Anda sendiri mengalami hidup seperti orang gila?
    Seniman dan orang gila ibarat realitas dan imajinasi. Bagi orang gila imajinasi dan realitas tak ada batas. Sedangkan seniman menyadari hidup dalam dua dunia itu. Bedanya kalau orang gila betulan tak menyadari adanya perbedaan imajinasi dan kenyataan.

    Bagaimana dengan koruptor, apakah mereka gila?
    Yang korupsi pasti marah jika disebut orang gila. Mereka mengaku waras. Tapi ditengah maraknya korupsi yang gelo saha? Apakah yang mayoritas korupsi atau yang sedikit? Sekarang korupsi sudah sampai tingkat RT, cuman karena tingakt RT tak ditangkap KPK. Di dunia mana tak ada korupsi. Ini sudah kuat akibat pengaruh Orde Baru berkuasa selama 32 tahun.

    Bahkan di kalangan seniman ada seniman gelo, itu seniman jujur. Ada juga seniman proposal, itu seniman tak jujur. Seniman jujur tak mau masuk ke wilayah itu. Saya juga kritisi itu dalam puisi saya.

    Agar tak penasaran, KabarKampus kutip beberapa bait puisi yang ditulis pada tanggal 9 Desember 2014 yang berjudul “Mending Gelo Dari Pada Korupsi”.

    Hai kamu!

    Katanya mau memberantas korupsi,
    ternyata kok malah dipenjara karena korupsi, gubrak!

    Katanya kampanye anti korupsi
    Ternyata kok malah membela temen-temenmu yang korupsi, gubrak!

    Katanya mau menyelamatkan uang negara
    Ternyata kok malah merampok pajak rakyat. Gubrak!

    Kamu itu
    Tong kosong nyaring bunyinya.
    Otakmu bolong Hatimu kosong
    Otakmu bolong Hatimu kosong
    Nol nol nol nol nol nooooooooooolllllll…….!!!!!!

    Separah itukah realitas yang Anda baca?
    Dunia sekarang sudah sangat edan luar biasa. Si Ahok dianggap gelo melawan BPK dan DPRD yang sudah korup. Orang BPK sendiri masuk Panama Papers.

    Puisi-puisi Anda ditujukan kepada mereka?
    Dalam puisi ini ironi dan sinisme, meledek kondisi sekarang. Orang waras sebaiknya jangan ikut membaca nanti ketularan gilanya. Tapi tidak hanya korupsi yang menjadi sorotan. Ada tema cinta, religi, kritik sosial, pemilu, pilpres, semua tema kehidupan cuma dari sudut pandang orang gila.

    Sekarang saya mengajukan teknis penerbitan, kabarnya penerbitan puisi ini dilakukan secara indie?
    Penerbitannya indie, penerbitannya dilakukan ASAS UPI (Arena Studi Apresiasi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia). Ini adalah cetakan kedua sebanyak 300 eksemplar, harganya Rp50.000, murah kan?

    Selama ini Anda dikenal di teater. Apa yang mendorong Anda menulis puisi?
    Saya memang orang teater, puisi kadang-kadang saya nulis puisi. Saya juga ngajar di STKIP Siliwangi Bandung di prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Sejak 2010. Saya juga agendakan dua tahun sekali ikut Festival Drama Bahasa Sunda (FDBS) yang diadakan Teater Sunda Kiwari. Kan dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

    Selesai wawancara, Gusjur Mahesa menyempatkan berfoto dengan buku puisinya. Perjalanan karier pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1966 ini unik. Begitu lulus dari IKIP (kini UPI Bandung), ia aktif di Bengkel Teater Rendra. Kemudian pindah ke Studio Hanafi.

    Kecintaannya pada dunia teater dibuktikan dengan mendirikan Teater Tarian Mahesa di Bandung dan Ciamis. Gusjur juga menjadi pembina UKM Komunitas Seni Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Bandung. Pada 2008 dan 2010 ia menjadi sutradara terbaik FDBS—festival teater yang disebutnya festival internasional karena hanya satu-satunya festival yang memakai bahasa Sunda. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here