More

    Candra Malik Kesulitan Memahami Karya Sastra di Media “Mainstream”

    Candra Malik. Foto : Fauzan Sazli
    Candra Malik. Foto : Fauzan Sazli

    Bagi seorang Sufi seperti Candra Malik, hanya butuh waktu dua hari untuk menulis buku 250 halaman. Namun seorang Candra Malik mengaku masih mengalami kesulitan dalam memahami puisi-puisi atau karya sastra yang ditulis di media seperti Kompas atau Tempo.

    Menurutnya, puisi yang dihadirkan di media-media mainstream tersebut “sastranya” terlalu tinggi, sehingga sulit dipahami.

    “Ketika saya membaca puisi di koran mainstream seperti Kompas dan Tempo saya tidak menemukan kahadiran penulis. Dan saya merasa tidak dibukakan pintu masuk ke dalam penulis,” kata Candra Malik dalam diskusi dan peluncuran buku puisi karyanya “Asal Muasal Pelukan di KaKa Kafe, Bandung, Rabu, (15/06/2016).

    - Advertisement -

    Pria yang akrab disapa Gus Can ini menuturkan, hal itu karena karya sastra yang dibuat terlalu tinggi dan terlalu berjarak dengan dirinya sendiri. Sehingga tidak ada ruhnya di sana.

    “Karena sastranya terlalu tinggi, saya tidak nyampe atau memang saya tidak mengerti apa itu puisi,” ungkap Gus Can yang pernah menulis Sekumpulan Esai Republik Ken Arok dan empat buku tasawuf ini.

    Menurutnya, seorang pengkarya selalu mengisahkan dirinya sendiri. Tidak pernah keluar dari situ, walaupun tentang orang lain.

    “Saya tidak pernah membayangkan seorang penulis menuliskan tentang Ethiopia dan Iraq, tapi tidak pernah kesana, tapi bahannya dari televisi dan dari koran, dia cuma memainkan kata saja. Tidak ada ruhnya di sana,” ungkap Gus Can.

    Pria yang pernah menjadi jurnalis ini menambahkan, seorang sastrawan atau pengkarya harus benar-benar mengalaminya sendiri, entah itu tentang penglihatan, pendengaran dan pengalaman perasaan. Tidak hanya asal comot dari berbagai referensi dan semua dimasukkan.

    “Dari sanalah sastra dan dirinya sendiri sedemikian berjarak. Seolah-olah kalau sudah menjadi penyair itu ningrat, tidak boleh mengalami sesuatu yang bukan wine atau bukan cerutu. Justru sastrawan harus benar-benar membumi. Dia boleh melangit tapi kakinya membumi. Dan tidak boleh berjarak dengan siapapun.”

    Itu yang ia rasakan ketika menulis Fatwa Rindu di twiter. Banyak sekali komentar-komentar dari follower yang mengatakan, “Ini gue banget. Lu kok tau soal gue,”

    “Itu karena sastra tentang keindahan rasa,” jelasnya.

    Dari sana, Gus Can merasa puisi atau sajak itu adalah personifikasi dari penyair sendiri. Itu perwujudan nyata tentang dirinya.`Bila dia memilih kata –kata indah yang manis-manis saja, maka dia tidak jujur pada dirinya sendiri.

    “Saya mengartikan karya selalu sebagai jejak, penanda perjalananan. Ketika yang dirasakan itu, maka yag ditulis itu. Saya mengerti itu, maka yang ditulis itu,” ungkap Gus Can.

    Gus Can mengaku buku puisi “Asal Muasal Pelukan” sebagian besar ditulis dari tahun 2015 – 2016. Sebanyak 99 puisi itu mengisahkan pengalaman sehari-hari termasuk pengalaman batin atau spritual yang berhasil ditangkap dan diabadikan.

    “Saya berharap buku tersebut juga dimaknai oleh masing masing pembaca,” ungkap Gus Can.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here