More

    Degradasi Mental di Era Globalisasi

    Penulis: Baqi Maulana Rizqi – Ketua Umum HMI Bumiayu

    Baqi Maualana Rizqi, Ketua Umum HMI Bumiayu
    Baqi Maualana Rizqi, Ketua Umum HMI Bumiayu

    Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan pemberitaan di media cetak maupun online mengenai berbagai kasus kasus negatif yang menandakan degradasi mental.

    Mulai dari kasus pedofilia, pelecehan dan kekersan seksual, kabar burung kebangkitan PKI, kasus pembongkaran paksa pedagang warteg yang buka siang hari pada bulan Ramadhan, penculikan ABG lewat media sosial, prostitusi online hingga kasus yang menggambarkan buruknya mental pejabat.

    - Advertisement -

    Lantas kondisi seperti ini tanggungjawab siapa? Lalu siapa yang mau membenahi dan memperbaiki kondisi yang ada? Apakah tanggungjawab pemerintah atau rakyat? Dengan pertanyaan semacam ini diharapkan semuanya memahami bahwa ini adalah tanggungjawab bersama untuk memperbaiki dan membenahinya.

    Mari kita menengok sejarah. Presiden Soekarno juga pernah membahas tentang degradasi mental, yakni gagasan revolusi mental. Sebelum mengulas esensi revolusi mental kita perlu mengenal sosial historis yang melahirkan gagasan Bung Karno tersebut.

    Gagasan revolusi mental mulai digemborkan Bung Karno pada pertengahan tahun 1950-an yakni tahun 1957. Ketika itu revolusi nasional sedang mandek dan tujuan revolusi mental belum tercapai. Penyebab pertama adalah terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi baik rakyat maupun pemimpin nasional.

    Kedua adalah banyak pemimpin politik yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, penyakit mental yang mencegah para pemimpin mengabil sikap progresif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional di kalangan rakyat Indonesia. Pemimpin politik seperti ini memiliki kondisi mental yang mudah menerima dan kehilangan kepercayaan diri.

    Ketiga, terjadinya penyelewengan-penyelewengan di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri.

    Esensi dari revolusi mental yang digagas Bung Karno adalah perombakan cara berfikir, cara kerja/berjuang dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tututan revolusi nasional. Sejak tanggal 17 agustus 1957 pemerintahan Soekarno melancarkan sejumlah aksi, yakni hidup sederhana, gerakan kebersihan kesehatan, gerakan pemberantasan buta huruf, gerakan memassalkan gotong royong, gerakan mendisiplinkan dan mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembangunan rohani melalui kegiatan keagamaan dan penguatan kewaspadaan nasional.

    “ia adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia indonesia agar menjadi  manusia baru, yang berhati putih, berkemaun baja, bersemnagt elang rajawali, berjiwa api yang menyalaa-nyala,” kata Ir soekarno.

    Degradasi mental harus segera ditutupi dari berbagai aspek mulai dari petinggi negara hingga rakyat, agar bisa menciptakan suasana bangsa yang berkepribadian luhur dan bermartabat tinggi, dan menanamkan kembali nilai-nilai yang terkandung dari pancasila serta pemahaman yang mendalam tentang ideologi bangsa Indonesia.

    Untuk itu dibutuhkan gotong royong dalam menyongsong kemajuan bangsa Indonesia, yakni saling asah, asih, asuh.

    Sikap sosial harus lebih ditanamkan kedalam pribadi masyarakat Indonesia agar nantinya hidup berdampingan dalam keberagaman dengan tidak membeda-bedakan antara ras, suku, agama dan tidak melahirkan sekte-sekte yang cenderung memecah belah negara kesatuan republik Indonesia.

    Dalam usaha membenahi mental masyarakat Indonesai agar sesuai dengan apa yang di katakan Bung Karno terkait revolusi mental yakni “Bukanlah pekerjaan satu-dua hari melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus menerus”.

    Untuk itu dibutuhkan kesadaran hidup dalam berbangsa dan bernegara.

    Dalam mengamalkan Sila kelima dari Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tentu membutuhkan mentalitas dasar yang merupakan sikap mental yang mendasari cara berfikir, bertutur kata, bersikap dan bertindak dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari yang selaras dengan nilai-nilai dasar yang terkadung dari ideologi Indonesia yakni pancasila.

    Keberhasilan dalam proses pembentukan mental yang kuat seyogyanya mendapatkan asuhan dan pendidikan yang menunjang untuk membentuk mental baja, karena globalisasi adalah kenyataan dan tantangan yang harus dihadapi. Dan kita harus keluar dari mentalitas minder dengan bangsa lain.

    Sementara pengaruh yang masuk akibat globalisasi ada yang berpengaruh positif ada pula yang negatif. Untuk itu globalisasi harus disaring dengan pancasila dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here