More

    Jadi Doktor ITB Berkat Permainan Tradisional

    ENCEP SUKONTRA

    Mainan mungkin dianggap remeh bagi orang dewasa, apalagi mainan tradisional. Tapi tidak bagi Mohamad Zaini Alif. Dalam benak Zaini susungguhnya mainan tradisional merupakan medium mumpuni yang mengajarkan kearifan lokal.

    Mohamad Zaini Alif, pendiri Komunitas Hong berhasil meraih Doktor dengan yudisium cumlaude (18/06/2016). FOTO : ENCEP SUKONTRA
    Mohamad Zaini Alif, pendiri Komunitas Hong berhasil meraih Doktor dengan yudisium cumlaude dalam Sidang Terbuka Program Doktor di Aula Timur ITB, Bandung. (18/06/2016). FOTO : ENCEP SUKONTRA

    Pada 2009, Zaini mendirikan komunitas yang khusus menghimpun dan mendalami permainan tradisional Indonesia, yaitu Komunitas Hong. Komunitas ini secara terus-menerus menggali pengetahuan dan mengampanyekan permainan anak. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun diajak untuk mengenang kembali kearifan lokal dari berbagai permainan tradisional.

    - Advertisement -

    Kecintaannya terhadap permainan anak rupanya tidak tanggung-tanggung. Semasa kuliah S1 dan S2, Zaini menyusun skripsi dan tesisnya tentang permainan tradisional. Hasil penelitian dan komunitas Hong membuat Zaini menjadi referensi terbaik untuk membicarakan permainan anak Indonesia.

    Selanjutnya pada tahun 2012 ayah dua anak ini melanjutkan kuliah di Fakultas Seni dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB). Desertasinya juga mengulas permainan tradisional. Hingga Sabtu Sabtu (18/06/2016), Zaini berhasil mempertahankan disertasi doktornya dengan yudisium Cum Laude.

    Perintis Keilmuan Baru
    Ketua Tim Promotor Zaini, Dr. Agus Sachari menyebut bidang keahlian yang digeluti promovendus (Zaini sebagai penyusun disertasi) sangat langka di Indonesia.

    “Bidang keilmuan promovendus adalah perintis keilmuan baru di Indonesia,” kata Agus Sachari, dalam sidang Terbuka Komisi Sekolah Pascasarjana di Aula Timur ITB, Sabtu (18/06/2016).

    Selain Agus Sachari, tim promotor Zaini terdiri dari Prof. Dr. Setiawan Sabana M.F.A sebagai Ko-promotor 1 dan Dr Imam Santosa M.Sn sebagai Ko-promotor 2.

    Zaini menyusun desertasi berjudul “Konsep Desain Vernakular Melalui Bentuk Transmisi Nilai Kaindahan pada Mainan dan Permainan Anak di Baduy Dalam.”

    Zaini mengungkapkan, di wilayah Jawa Barat terdapat 250 jenis mainan tradisional. Bentuk-bentuk mainan di Jawa Barat juga memiliki kemiripan dengan mainan tradisional nusantara, hanya namanya saja berbeda.

    “Dari sekian banyak persamaan, saya melihat ada perbedaan yang signifikan dengan pola permainan pada masyaraakt Baduy Dalam,” kata Zaini.

    Tiga tahun Zaini meneliti masyarakat adat di pedalaman Provinsi Banten itu. Masyarakat ini disebut juga orang Tangtu yang meliputi daerah Cibeo, Cikeusik dan Cikertawarna. Hasil penelitiannya mengungkapkan, masyarakat Baduy Dalam memiliki bentuk permainan yang berbeda dengan mainan dan permainan yang ada di Tatar Sunda.

    Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal istilah “mainan” dan “permainan,” tetapi ada istilah “main” atau “ulin” yang artinya seseorang yang tidak memiliki kegiatan apa pun kemudian melakukan perjalanan.

    Istilah permainan anak-anak bagi orang Baduy Dalam adalah pagawean barudak (pekerjaan anak-anak). Kata pagawean mengandung arti hasil karya. “Kegiatan yang bersifat bermain dianggap kegiatan yang tidak berguna atau tidak bertujuan sehingga dilarang dilakukan,” jelas Zaini.

    Pegawean Barudak
    “Permainan” atau pagawean barudak di Baduy Dalam merupakan kearifan yang memberikan pengajaran mengenai interaksi dengan lingkungan hidupnya. Sedangkan permainan dan mainan anak bagi masyarakat luar Baduy tujuannya sebagai hiburan anak.

    “Orang Baduy Dalam termasuk anak-anaknya sangat teguh memegang ikatan adat yang bersumber dari ajaran spiritual,” ujarnya.

    Pagawean barudak bagi anak-anak Baduy Dalam terkait erat dengan siklus kehidupan. Tidak ada permainan yang hanya untuk senang-senang. Contohnya “mainan” yang diajarkan orang tua Baduy Dalam pada anak-anaknya adalah kancung.

    Kancung merupakan benda yang terbuat dari kayu. Kancung sebagai karya pagawean barudak yang berfungsi untuk menangkap burung yang hinggap di dahan pohon.

    Kegiatan menangkap burung dengan kancung disebut ngaleugeut. Kancung terbuat dari pohon teureup (Artocarpus elasticus). Getah pohon teureup dipakai untuk menjebak burung. Orang dewasa juga biasa melakukan tangkap burung dengan kancung besar.

    Pohon teureup pula memiliki banyak fungsi yakni untuk membuat koja atau alat untuk menangkap ikan. Tali dari pohon teureup juga biasa dipakai untuk mengikat perut perempuan setelah melahirkan.

    Dari contoh tersebut, kata Zaini, ada kaitan antara “permainan” kancung anak-anak Baduy Dalam dengan kehidupan usia dewasa. Sehingga dalam membuat kancung anak-anak Baduy Dalam keukeuh akan mencari bahan dari pohon teureup. Tanpa pohon teureup kancung yang dibuat tidak endah (indah/sempurna).

    Pagawean barudak oleh Orang tua Baduy Dalam menjadi media transformasi nilai-nilai leluhur. Menurut Zaini, salah satu nilai tersebut adalah konsep pikukuh, yakni keteguhan dan kepatuhan.

    “Keteguhan dan kepatuhan disampaikan melalui keterampilan (skill) dalam membuat, menggunakan bentuk-bentuk pagawean barudak. Kepatuhan digunakan melalui penggunaan material, bentuk, proses dan hasil karya,” katanya.

    Itu sebabnya anak-anak Baduy Dalam tidak mau membuat kancung selain dari pohon teureup. Sebab ada konsep pikukuh yang harus dipatuhi. Material kayu teureup yang dipakai juga harus mengikuti aturan alam.

    Misalnya, kayu melengkung tidak boleh diluruskan, kayu pendek tidak boleh disambung, kayu panjang tidak boleh dipotong. Hal ini menunjukkan Baduy Dalam sangat menghormati alam.

    “Mereka patuh pada yang sudah digariskan leluhurnya,” ujarnya.

    Pelatihan keterampilan membuat pegawean barudak bertujuan agar anak siap menggantikan posisi orang tua kelak. Sehingga semua material pagawean barudak menggunakan material dan fungsi yang sesungguhnya. Beda dengan mainan masyarakat umumnya yang bentuknya tiruan dari yang asli.

    “Jika memakai golok, anak-anak memakai golok sungguhan. Ini menunjukkan bahwa anak tidak boleh diajari kepura-puraan,” ungkap Zaini.

    Perlu Dibangun Replika Baduy Dalam
    Hingga kini proses transformasi nilai lewat “mainan” di Baduy Dalam masih dilakukan. Namun disertasi Zaini merekomendasikan tentang perlu dibangunnya wahana wisata berupa replika Baduy Dalam di kawasan Baduy Luar. Tujuannya untuk mengerem arus wisatawan yang berkunjung ke Baduy Dalam.

    Kawasan Baduy terbagi dua, yakni Baduy Luar dimana masyarakat sudah terbuka, dan Baduy Dalam yang masyarakatnya masih patuh terhadap adat leluhur.

    Zaini khawatir, banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Baduy Dalam akan mengancam kelestarian kampung adat. Orang Baduy Dalam sering kali menjadi pengantar tamu atau kunjung. Saat mengantar tamu, orang Baduy Dalam kerap melibatkan anak-anak mereka.

    Akibat sibuk mengantar tamu, banyak orang Baduy Dalam yang meninggalkan proses pewarisan nilai lewat pengajaran membuat pagawean barudak. “Dengan adanya replika wisata Baduy Dalam di Baduy Luar, diharapkan jumlah pengunjung ke Baduy Dalam bisa berkurang. Nantinya hasil pengelolaan replika bisa diberikan ke orang Baduy Dalam,” katanya.

    Zaini mencatat, dari 35 permainan yang dikumpulkan di Baduy Dalam, kini tidak semuanya dipraktekan karena mulai terbatasnya waktu pewarisan. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here