More

    Menanam Jiwa Penelitian Ilmiah di Usia Dini

    ENCEP SUKONTRA

    Tujuh siswa setingkat kelas satu SMA duduk berderet di kursi paling depan. Mereka menghadapi kursi penonton yang tidak lain orang tua, dosen, perwakilan komunitas serta para pegiat Rumah Belajar Semi Palar.

    Tujuh anak-anak KPB Semi Pilar: Lian Kyla Kizhaya Sulwen, Angelita Zipora, Christopher Gio Sarsono, Natasha Jeanic, Sebastian Rico Setioso, Asyafa Mutia, Viola Kinanti Putri Pranono. FOTO : ENCEP SUKONTRA
    Tujuh anak-anak KPB Semi Pilar: Lian Kyla Kizhaya Sulwen, Angelita Zipora, Christopher Gio Sarsono, Natasha Jeanic, Sebastian Rico Setioso, Asyafa Mutia, Viola Kinanti Putri Pranono. FOTO : ENCEP SUKONTRA

    Lian Kyla Kizhaya Sulwen, salah satu dari tujuh siswa, bertindak sebagai MC. Pembukaan acara sedikit canggung. Tapi tidak lama setelah Lian meminta Andy Sutioso, Kepala Sekolah Rumah Belajar Semi Palar, memberi sambutan, suasana lebih cair.

    - Advertisement -

    Permintaan tersebut spontan. Andy merasa ditodong. Hadirin tertawa. Andy pun menjelaskan bahwa tujuh anak yang ada di hadapan hadirin adalah siswa Komunitas Petualang Belajar (KPB) Semi Pilar. KPB adalah sekolah jenjang SMA.

    Di level SMA, ketujuh siswa tersebut baru menginjak kelas satu. Namun mereka baru saja menyelesaikan tugas akhir sekolah berupa penelitian. Tugas ini mereka kerjakan sebelum naik ke jenjang berikutnya yang setara dengan kelas dua SMA.

    “KPB adalah proyek nekat, orang tuanya yang menyekolahkan di sini juga nekat. Belajar tapi tak mengacu kurikulum nasional. Tak ada ruang kelas. Mereka belajar di masyarakat, didampingi komunitas,” terang Andy dalam sambutan pembukaan acara bertema “Bertanya Untuk Menjawab: Paparan hasil kegiatan Analisis Sosial KPB,” di Basecamp KPB Semi Pilar, Jalan Sukamulya, Bandung, Senin (13/06/2016).

    Andy yakin ada 1.001 cara belajar bagi anak-anak Indonesia, salah satunya tidak harus selalu berada di dalam kelas. KPB akan terus bertumbuh “melawan” arus pendidikan nasional yang cenderung formalistik.

    Ketujuh anak-anak KPB tersebut adalah Angelita Zipora, Christopher Gio Sarsono, Natasha Jeanic, Sebastian Rico Setioso, Asyafa Mutia, Viola Kinanti Putri Pranono, dan Lian sang MC. Hampir setahun penuh mereka belajar di lapangan, di masyarakat.

    Kegiatan belajar-mengajar itu tentu berbeda dengan anak-anak seusia mereka di tingkat SMA yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kelas, menghapal berbagai mata pelajaran, ujian dan seterusnya.

    Kegiatan terakhir siswa KPB adalah mengerjakan penelitian ilmiah kualitatif di kampung Kampung Sekepicung Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, dan Kampung Cigumentong di kawasan Konservasi Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi (TBMK).

    Penelitian kualitatif? Ya, penelitian yang biasa dilakukan mahasiswa S1 ketika menyusun skripsi. Di akhir penelitiannya, secara keroyokan ketujuh anak itu menyusun sebuah buku setebal 309 halaman. Buku ini diberi judul “Bertumbuh Bersama Semesta.” Penulisan buku mengikuti prosedur ilmiah, ada catatan kaki dan daftar pustakanya.

    Di halaman awal buku, mereka menulis tujuan KPB dengan kalimat berani, “Kelompok Petualang Belajar atau disingkat KPB, dibentuk dengan alasan untuk mempersiapkan anak-anak yang berniat melanjutkan SMA dengan cara yang unconventional dan melepaskan diri dari kurikulum nasional.”

    KPB, lanjut buku dengan cover putih itu, mendorong cara belajar unorthodox. Kurikulum nasional dinilai masih terlalu padat oleh materi yang harus dipelajari siswa. Sehingga anak-anak kesulitan belajar dan pada akhirnya kesulitan saat berada di dunia luar.

    “KPB berusaha mengubah itu dan membuat sebuah sistem belajar yang lebih aplikatif dan kontekstual dengan kehidupan sehari-hari.”

    Selain Andy, masih ada beberapa orang lagi yang ditodong untuk memberikan sambutan, antara lain Indrasari Tjandraningsih, peneliti lembaga riset Akatiga, dan Kak Eco dari komunitas pecinta alam Wanadri, dan Lala Komara dari Paguyuban Ajen Sunda Seja Raharja (Passer).

    Akatiga, Wanadri maupun Passer adalah lembaga yang dijadikan tempat menimba ilmu bagi ketujuh murid KPB. Dari Akatiga mereka menimba metode ilmiah, teori dan prakteknya. Saat di penelitian lapangan/masyarakat mereka mendapat pendampingan dari Wanadri dan Passer.

    Di Kampung Sekepicung mereka meneliti masalah penjualan tanah oleh warga kepada para investor. Kampung Sekepicung merupakan daerah perbatasan Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung. Daerah ini aslinya pertanian. Kini posisi mereka terancam pembangunan modern. Kampung ini dikepung kafe, restoran, hotel dan perumahan elit.

    Penghasilan warga Sekepicung dari pertanian makin kurang menjanjikan. Sehingga banyak warga yang tergoda menjual tanahnya kepada pengusaha. Tanah itu kemudian dijadikan kafe atau tempat hiburan lainnya. Warga lalu bekerja di sana.

    “Kurang dari 20 persen warga Sekepicung yang memiliki tanah di kampungnya. Ke depan akan semakin berkurang,” kata Sebastian Rico Setioso, salah seorang siswa yang presentasi penelitian ilmiahnya.

    Nilai strategis kampung yang posisinya berdekatan dengan pusat kota Bandung membuat harga tanah di Sekepicung melambung tinggi. Meski secara administratif Sekepicung berada di wilayah Kabupaten Bandung, secara geografis mereka justru lebih dekat ke pusat pemerintah provinsi dan kota Bandung.

    Rico mencatat, dampak dari penjualan tanah di Kampung Sekepicung membuat makin berkurangnya ruang-ruang publik untuk ekspresi warga, sulitnya ruang bermain anak yang akhirnya hilangnya seni atau budaya yang tumbuh di kampung. “Masalah ini sangat serius,” kata Rico.

    Salah satu cara untuk menyelamatkan Kampung Sekepicung menurut Rico harus menumbuhkan kembali ruang-ruang kebudayaan. “Lewat budaya kampung warga akan bersatu dan makin kompak, identitas dan keunikan warga juga akan terjaga dan dilindugi. Sehingga tanah akan sulit dijual,” katanya.

    “Warga di sana juga perlu memahami proses penjualan tanah, apa untung ruginya dan apa dampak jangka panjangnya,” tambah dia.

    Harapan membangun ruang-ruang publik juga muncul dari masyarakat Sekepicung, antara lain dari anak-anak. Hal ini diungkapkan siswa KPB lainnya, Asyafa Mutia (16) yang mewawancarai beberapa anak Sekepicung.

    Anak-anak Sekepicung sudah tahu bahwa setiap lahan yang sudah dijual akan dijadikan kafe, hotel atau perumahan. “Sebagian mengaku tidak keberatan dengan adanya kafe karena akan membuka lapangan kerja dan wifi gratis,” katanya.

    Ada juga warga yang merasa terganggu. Pada malam hari suasana kampung bising oleh musik-musik yang menggema dari kafe.

    Memang tidak semua tanah yang sudah dibeli langsung dibangun kafe atau hotel. Ada beberapa pengusaha yang membiarkan tanahnya kosong ditumbuhi ilalang.

    “Kami tanyakan juga jika lahan kosong milik mereka akan dijadikan apa. Ternyata masyarakat di sana punya mimpi untuk memanfaatkan lahan jadi masjid, sekolah untuk anak-anak belajar, panti asuhan untuk anak yang diusir dari rumah, kafe untuk warga yang harga makanannya terjangkau dan bisa dipakai menjamu tamu-tamu mereka,” papar Mutia.

    kerja sama Akatiga dengan Semi Pilar membuka kesempatan untuk menanamkan jiwa penelitian pada anak remaja. FOTO : ENCEP SUKONTRA
    kerja sama Akatiga dengan Semi Pilar membuka kesempatan untuk menanamkan jiwa penelitian pada anak remaja. FOTO : ENCEP SUKONTRA

    Masalah sosial yang ditemukan di Kampung Cigumentong lain lagi. Warga di hutan konservasi ini jauh tertinggal informasi. Belum adanya listrik membuat jumlah rumah di Kampung Cigumentong terus menyusut dari 50 rumah menjadi tinggal 15 rumah.

    Belakangan, listrik masuk ke daerah tersebut. Sumber informasi dari dunia luar didapat warga dari televisi yang ditonton secara ramai-ramai di aula. Kini kebutuhan listrik warga sudah merata, meski tegangannya masih kurang stabil sehingga warga sering mengalami mati lampu.

    Dengan adanya listrik, warga bisa menyalakan televisi. Sehingga mereka tidak terlalu ketinggalan informasi perkembangan kota Bandung, politik, ekonomi dan berita nasional. “Namun dampak negatifnya ada tayangan yang tidak pantas yang ditonton anak kecil. Sikap dan prilaku anak kampung mengikuti apa yamg mereka tonton,” kata Lian Kyla Kizhaya Sulwen.

    Masalah lain, Kampung Cigumentong kini banyak didatangi pendatang dari Lembang, Garut dan Sumedang. Adanya pendatang membuat penduduk kampung yang mayoritas hidup dari bertani padi berubah menjadi bertani sayur.

    Indrasari Tjandraningsih dari lembaga riset Akatiga mengatakan, kerja sama Akatiga dengan Semi Pilar membuka kesempatan untuk menanamkan jiwa penelitian pada anak remaja. Menurutnya, budaya penelitian harus ditularkan kepada banyak pihak, termasuk anak-anak.

    “Kami intervensi anak muda supaya mau jadi peneliti, minimal tahu penelitian itu ngapain saja,” terangnya.

    Untuk diketahui, kata Asih, saat ini komunitas penelitian di Indonesia kecil sekali jumlahnya. “Mungkin karena peneliti bukan lahan basah. Tapi justru itu justru kegiatan penelitian harus disebarluaskan,” katanya.

    Sebagai gambaran, dana riset di Indonesia sangat rendah, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia. “Dana riset atau penelitian di kita kan nol koma sekian, jadi penelitian bukan prioritas,” katanya.

    Akatiga sendiri selama hampir 25 tahun berdiri baru kali ini bekerja sama dengan anak-anak seusia SMA. “Makanya inginnya dengan KPB Semi Pilar ini terus berkembang,” katanya.
    Selama ini Akatiga biasa bekerja sama dengan mahasiswa S1 atau dengan peneliti yang usianya 30 tahunan.

    “Awalnya Akatiga panik belajar penelitian dengan umur 15-16 tahun. Jadi mengajar mereka sebenarnya proses belajar bagi kedua belah pihak, KPB dan Akatiga menjadi mitra setara,” katanya.

    Untuk mengajari ketujuh anak KPB, Akatiga membuat program pengajaran selama dua bulan, April dan Mei. Program pendidikan dibagi dua, yakni teori dan praktek lapangan. Dalam pelajaran teori mereka diajari cara memulai penelitian ilmiah, prosedur penelitian, merumuskan masalah, teknik wawancara, hingga menulis laporan ilmiah. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here