More

    Catatan Kritis Perpustakaan Jalanan versus Kodam III Siliwangi

    Muhamad Salman Ramdhani*

    Beberapa hari yang lalu Komunitas Perpustakaan Jalanan di Kota Bandung dibubarkan paksa oleh aparat TNI disebabkan kegiatan yang memiliki maksud untuk meningkatkan minat baca anak muda ini diselenggarakan pada malam hari.

    Muhamad Salman Ramdhani -
    Muhamad Salman Ramdhani – Sekretaris Jenderal PB Pelajar Islam Indonesia (PII)

    Disebutkan juga dalam berita kabarkampus.com, Kodam III Siliwangi menegaskan akan tetap melaksanakan penertiban terhadap komunitas geng motor dan komunitas yang berkumpul serta tidak mengikuti aturan yang berlaku. Termasuk kegiatan Perpustakaan Jalanan yang dianggap menjurus kepada aktivitas negatif dan meresahkan.

    - Advertisement -

    Pihak TNI juga kemudian menghubungkan kegiatan tersebut dengan komunitas motor yang sering berkumpul dan akhirnya menimbulkan tawuran di jalanan.

    Menanggapi sikap aparat Kodam III Siliwangi yang menggunakan metode pembubaran paksa terhadap komunitas perpustakaan jalanan ini, penulis berpendapat: Pertama, aparat Kodam III Siliwangi perlu mengkaji kembali upaya implementasi UUD 1945 pasal 28E ayat 1 yaitu “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

    Pengkajian dilakukan dengan maksud agar segala tindakan yang dilakukan oleh aparat TNI tidak menggunakan metode yang cenderung mengarah pada kekerasan. Apalagi TNI menganut doktrin perang semesta yang dalam penyelenggaraannya melibatkan partisipasi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu tentunya aparat TNI harus merangkul berbagai kalangan.

    Kedua, menimbang daerah Kota Bandung yang memiliki banyak generasi muda kreatif dan inovatif, aparat TNI seharusnya melindungi berbagai macam kegiatan positif tersebut. Apalagi Panglima TNI beberapa waktu lalu sering mengisi ceramah di kampus-kampus tentang bahaya Perang Asimetris yang dapat merusak pemikiran rakyat Indonesia.

    Ketiga, jika dalam suatu daerah terdapat aturan yang melarang adanya kegiatan pemanfaatan lahan terbuka untuk berekspresi, sangat bijaksana jika langkah yang diambil berupa penyampaian aturan secara persuasif. Karena bisa jadi tidak banyak kalangan yang melek akan peraturan daerah.

    Keempat, terkait kegiatan yang dilaksanakan di malam hari, ada baiknya kita melihat definisi dari propaganda yang artinya gagasan untuk disebarkan ke sekeliling. Taman Cikapayang sebagai tempat yang digunakan untuk menggelar perpusatakaan jalanan pada malam hari merupakan tempat yang digunakan banyak anak muda untuk beraktivitas. Propaganda budaya literasi sendiri ditujukan khusus kepada anak muda agar sadar akan baiknya membaca buku daripada menonton televisi.

    Kiranya sebagai introspeksi, kita pun perlu membaca data tentang minat baca rakyat Indonesia. Menurut World’s Most Literate Nations, minat baca Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara. Peringkat tersebut merupakan hasil penelitian dari Central Connecticut State University tahun 2016.

    Selain itu, pada tahun 2012 UNESCO melansir index tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001. Itu artinya dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang mampu membaca buku dengan serius. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menunjukkan data sebanyak 91,68 persen masyarakat Indonesia lebih menyukai menonton televisi dan hanya 17 persen yang suka membaca.

    Jadi, haruskah kegiatan perpustakaan jalanan dibubarkan?

    * Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) Periode 2015-2017.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here