More

    Eksotisme Maumere Dalam Film “Ini Kisah Tiga Dara”

    NATALIA OETAMA

    “Mengapa anak dara selalu meresahkan keluarga?”

    Film drama musikal "Ini Kisah Tiga Dara" diperankan oleh Shanty Paredes, Tara Basro, dan Tatyana Akman serta Titiek Puspa.
    Film drama musikal “Ini Kisah Tiga Dara” diperankan oleh Shanty Paredes, Tara Basro, dan Tatyana Akman serta Titiek Puspa.

    Dalam film bergenre drama musikal “Ini Kisah Tiga Dara” keresahan menjadi isu sentral yang ingin ditonjolkan. Tentang keresahan 3 dara moderen diantara cita-cita dan cinta. Sang Oma yang menjadi pemicunya.

    - Advertisement -

    Adalah tiga bersaudara Gendis (Shanty Paredes), Ella (Tara Basro), dan Bebe (Tatyana Akman) sedang mengurus sebuah hotel di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Oma (Titiek Puspa).

    Konflik mulai terlihat.

    Seperti kebanyakan nenek lainnya mulai ketar-ketir melihat keadaan cucu-cucu yang belum juga menikah. Cucu tertua yakni Gendis menjadi fokus utama karena sudah berumur 32 tahun. Gendis selalu dongkol ketika topik pernikahan diangkat oleh oma.

    “Mengapa Ella tidak pernah ditanyai?” sungut Gendis.

    Sang nenek berkeras, Gendis yang paling berumur harus menjadi yang pertama setelahnya akan menyusul Ella dan Bebe. “Pamali melangkahi saudara,” begitu nenek berkilah.

    Masalah utama muncul ketika calon yang diamini nenek untuk Gendis malah juga membuat Ella ikut terpesona. Nenek yang begitu getol, Gendis yang lebih banyak mengalah dan Ella yang begitu kompetitif, sempat membuat keluarga ini kalang kabut.

    Tapi tenang, di akhir cerita nenek bisa tersenyum bahagia karena tak hanya cucunya yang mendapatkan jodoh, namun juga tetangganya.

    Film “Ini Kisah Tiga Dara” diproduksi oleh SA Films dan Kalyana Shira Films ini diadaptasi secara bebas oleh sang sutradara Nia Dinata dari film lama berjudul “Tiga Dara” (1956) garapan Usmar Ismail. Dengan rentang waktu yang jauh, adaptasi yang dilakukan Nia Dinata meletakkan persoalan kekinian perempuan Indonesia. Namun sesungguhnya tidak berbeda jauh, yakni soal ambisi dan konstruksi perempuan dalam tradisi.

    Sehebat apapun pekerjaannya, perempuan harus punya pasangan lebih tepatnya suami.

    Cut Mini yang dikisahkan sebagai wanita mandiri berpendidikan serta penulis hebat yang sudah cukup berumur dan belum menikah yang dijadikan patokan oleh Gendis akhirnya malah menikah dengan bapak dari tiga dara di akhir cerita. Ini seperti bumbu kejutan yang manis buat penonton.

    Film musikal ini menuntut para pemain utama untuk mampu bernyanyi dan menari. Masing-masing peran utama diberi bagian khusus untuk bernyanyi solo dalam film. Selain Titiek Puspa, 2 aktor senior lainnya ikut juga meramaikan film ini, yaitu Ray Sahetapy dan Cut Mini.

    Sinematografi dari cerita berdurasi 2 jam ini patut diacungkan jempol. Sudut pengambilan gambar yang unik dan luar biasa memikat, dipadankan dengan keindahan alam Maumere yang tak perlu lagi diragukan.

    Sungguh kombo yang mampu memanjakan mata.

    Pemilihan 3 karakter utama yang berkulit sawo matang seperti pesan terselubung bahwa wanita Indonesia itu eksotis dengan kulitnya yang terbakar matahari. Cantik itu tak melulu soal kulit putih. Pesan tersembunyi yang semoga mampu diserap perempuan Indonesia yang tergila-gila dengan produk pemutih.

    Sebagian nyanyian dan koreografer terasa kurang terjahit rapi ke dalam jalan cerita. Namun pemilihan wardrobe yang menarik mampu menyamarkan sebagian efek ini. Kain tenun dikenakan seperti harga diri dengan penuh kebanggaan.

    Cerita ketiga saudara ini terasa seperti tenunan cetak dengan hasil yang tertebak. Kisah cinta Ella yang diakhiri dengan begitu instan, cerita Bebe yang tanpa plot dengan adegan-adegan ekstra yang menjadi bumbu pemanis untuk memberi ending yang mengejutkan. Jalan cerita yang sebenarnya terfokus pada Gendis coba dikembangkan seadil mungkin untuk kedua suadara lainnya, sehingga terasa kurang tergali secara total.

    Apa film ini masih layak ditonton? Tentu, seperti kisah Romeo dan Juliet yang manis, cerita ini juga semanis gulali warna warni dengan sentuhan pengambilan gambar alam Maumere yang memikat mata. Setidaknya kamu akan tergila-gila dengan Maumere setelah menonton film ini dan semoga tak lagi termakan bujuk rayu produk pemutih.

    Film “Ini Kisah Tiga Dara” setidaknya menambah referensi penonton tentang konstruksi perempuan saat ini. Pendidikan modern menghendaki siapa pun mampu menggantungkan cita-cita setinggi langit. Tapi di hadapan tradisi, bisa saja mimpi itu bertabrakan sama lain.

    Satu hal yang tak bisa ditepis dari film ini, meski diadaptasi dari produksi tahun 1950-an, keresahan itu masih saja berputar pada persoalan domestik perempuan.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here