More

    Etika Publik Pejabat Negara

    Budiana Irmawan

    Mendagri Tjahjo Kumolo menyampaikan sampai tahun 2017 ada 77 kepala daerah terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK. Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo melansir 119 anggota DPR dan DPRD terbukti korupsi. Jumlah yang cukup mencengangkan. Betapa tidak, tindakan tegas KPK selama ini ternyata belum membuat jera para pejabat negara melakukan korupsi.

    Biaya politik terlalu mahal sering kali jadi justifikasi. Seorang calon kepala daerah atau calon anggota legislatif melenggang ke Senayan menghabiskan miliaran rupiah. Tetapi lepas soal sistem politik yang membawa konsekuensi biaya besar, kita tidak boleh bersikap permisif terhadap korupsi.

    Pejabat negara seharusnya menyadari integritas sangat penting, karena sistem politik murah sekalipun tanpa integritas personal selalu membuka potensi moral hazard. Integritas merupakan sikap mental dari seorang pejabat negara yang dilandasi etika publik.

    - Advertisement -

    Menurut Dr. Haryatmoko pengajar Filsafat Sosial Universitas Sanata Dharma, “etika publik adalah refleksi tentang standar norma yang menentukan baik/buruk, tindakan, dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik”. Istilah etika publik muncul sekitar tahun 80-an sejak skandal Watergate di Amerika, sementara di Indonesia dipopulerkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) ketika menyelenggarakan Forum Kuliah Umum dengan pembicara Sri Mulyani Indrawati medio tahun 2010. Tujuan etika publik mengutamakan pelayanan publik membedakannya dengan etika pemerintahan yang berorientasi pada kekuasaan.

    Di titik ini, prinsipil seorang kepala daerah di samping mendapatkan privilese seperti gaji besar, tunjangan jabatan, atau rumah dinas, juga mempunyai kewajiban yakni jangan berperilaku semena-mena dalam kehidupan bermasyarakat. Ia dengan otoritas kewenangan jika berbuat melawan hukum laik diganjar lebih berat dibandingkan orang biasa (commoners).

    Begitu pula hak anggota DPR dan DPRD sebagai pejabat negara kita sudah mafhum sesuai tugasnya melakukan pengawasan, anggaran, dan legislasi. Namun yang jarang dipercakapkan, pada diri anggota DPR dan DPRD melekat fungsi representatif yang didasari prinsip representative of trust (kepercayaan) dan representative of delegation (utusan). Seorang anggota DPR asal daerah pemilihan Majalengka, misalnya, ketika mengambil keputusan strategis tidak perlu meminta masukan dari konstituen di Majalengka. Ia dipercaya kecerdasannya mampu mengambil keputusan terbaik. Hal ini anggota DPR melaksanakan prinsip representative of trust. Sebaliknya sesuai prinsip representatif of delegation pada periode tertentu datang ke daerah pemilihan untuk mengakomodir aspirasi konstituen yang telah mengutusnya menjadi anggota DPR.

    Pemahaman di atas, menegaskan etika publik syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi pejabat negara. Mengabaikan etika publik melahirkan politik sekadar kontestasi kekuasaan. Itulah, kondisi banalitas meminjam terminologi Hannah Arendt pakar Ilmu Politik asal Jerman. Menjawab kondisi banalitas menuntut rehabilitasi politik kembali mengutamakan tindakan politik otentik. Keutamaan ini yang dimaksud etika publik. Pejabat negara di semua tingkatan pusat dan daerah harus memiliki etika publik. Mengingat, kita tidak ingin memasuki tahun politik menambah daftar panjang nama pejabat negara yang ditangkap KPK.

    Penulis:Budiana, Kolumnis kabarkampus.com

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here