More

    Nenek Moyang Bangsa Indonesia di Pentas Perdagangan Dunia

    Iman Herdiana

    Ilustrasi Jalur Sutra.

    BANDUNG, KabarKampus – Kerajaan Sriwijaya sudah sejak dahulu mempratikkan perdagangan ke belahan dunia. Ini dibuktikan dengan menempatkan pusat kerajaan dekat pantai.

    Sebelumnya, kerajaan yang berada di Pulau Sumatera ini bukanlah kerajaan maritim. Namun karena mengalami surplus panen, mereka harus menjual hasil panennya.

    - Advertisement -

    Untuk itu mereka harus mendekati bibir pantai. Sriwijaya kemudian memindahkan kerajaan mereka dari Pagaralam, Sumatera Selatan, ke Jambi. Dengan mendekati pantai, mereka telah melakukan geostrategis untuk menjalankan perdagangan.

    “Dalam sistem internasional masa lalu, nenek moyang bangsa ini sudah mengarungi samudera untuk melakukan penjelajahan. Artinya, di dalam sistem internasional ini leluhur kita pernah memegang panggung sebagai aktor, karena menguasai informasi dan navigasi,” kata Desmon Satria Andrian, pengamat Hubungan Internasional mengatakan dalam  Workshop Ramadhan: “Sistem Internasional: Anarki atau Hirarki” di KaKa Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa, Bandung.

    Dalam workshop yang digelar empat pertemuan antara 21-31 Mei itu, Desmon menunjukkan dua jalur sutra dunia yang dipakai dalam perdagangan internasional di masa lalu. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, jalur sutra tersebut sudah digunakan untuk perdagangan. Bahkan dikisahkan bahwa paman Nabi SAW wafat dan dimakamkan di salah satu provinsi di China.

    Masa itu ada dua jalur sutra, masing-masing jalur berwarna merah dan biru. Jalur sutra warna merah membentang secara horizontal dari dataran Cina ke Eropa.

    Di masa itu, Eropa belum melakukan penjelajahan dunia baru, mereka masih nyaman tinggal di Eropa. Untuk komoditas seperti sutra, keramik hingga rempah-rempah, mereka mengandalkan pedagang yang memakai kedua jalur sutra itu.

    China sendiri disebut China karena sebutan orang Eropa. Di masa Dinasti Chin, cerita Desmon, China menguasai jalur perdagangan internasional itu. Orang-orang Eropa menyebut China dengan sebutan Chin, misalnya keramik dari Chin, sutra dari Chin dan lainnya. Padahal China menyebut dirinya Chung Huo yang berarti negeri di tengah sebagai pusat peradaban.

    Jika jalur sutra warna merah dikuasai China, berbeda dengan jalur sutra warna biru. Jalur biru membentang di laut Asia Tenggara melewati India, Arab, Somalia-Afrika, hingga laut Mediterania-Eropa.

    Menurut Desmon, jalur sutra warna biru yang didominsi lautan dikuasai oleh para penjelajah nusantara. Ia juga mengungkapkan, pengarungan samudera bukan datang dari arah Afrika ke Asia Tenggara, tapi justru terjadi sebaliknya.

    Bukti bahwa kawasan Asia Tenggara menguasai jalur sutra laut adalah dengan ditemukannya rempah-rempah yang dipakai dalam pemakaman raja Fir Aun, Mesir. Di sana bahkan ditemukan rempah-rempah yang usianya 1.400 tahun lebih tua daripada Nabi Isa.

    Bahkan, kata Desmon, di kain penutup jenazah Nabi Isa juga konon ditemukan rempah yang berasal dari kepulauan yang kini disebut Indonesia ini. Selain itu, orang-orang Ghana, Afrika, juga mengakui pertemuan dengan orang-orang nusantara yang dijuluki manusia perahu. Mereka terampil menambang emas dan membawanya ke Sumatera yang disebut Swarna Dwipa.

    Keterampilan mengarungi samudera oleh nenek moyang bangsa ini dapat dilihat dari jenis perahu yang mereka pakai.  Kapal nenek moyang sudah memakai cadik untuk pemecah ombak, sehingga mereka bisa mengarungi luasnya lautan. Kapal nenek moyang berbeda dengan kapal yang dipakai Laksamana Cheng Ho yang rangkanya datar dan tidak mampu membelah ombak.

    “Kapal nusantara itu punya cadik, bisa berlayar jauh sampai ke Somalia, Afrika Timur, Zambia, dan lainnya,” kata Desmon.

    Bahkan hingga kini di Madagaskar hidup orang-orang yang berasal dari suku Dayak. Mereka menggunakan bahasa yang kosakatanya mirip dengan bahasa Dayak.

    Kerajaan-kerajaan di Afrika masa itu pun memilih pantai sebagai pusat pemerintahan, agar mereka mudah berhubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, salah satunya dengan kerajaan dari Nusantara.

    “Sistem internasional memengaruhi prilaku negara untuk menentukan ibu kota. Jadi sistem internasional diduga keras sudah ada dari sejak periode ini,” kata Desmon.[]

     

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here