More

    Otoritarianisme Gaya Baru di Masa Reformasi

    Iman Herdiana

    Ilustrasi / Ratusan mahasiswa Aktivis Konami dari berbagai daerah di Indonesia melakukan long march menuju Istana Negara, Selasa, (27/03).

    BANDUNG, KabarKampus – Pasca reformasi, otoritarianisme gaya baru muncul. Masyarakat seolah terjebak pada fenomena regresif, fanatisme ketokohan atau kultus individu.

    “Selain munculnya fenomena regresif, juga muncul penyimpangan fanatik pasca-reformasi. Jadi Suharto digugat, dijatuhkan, tapi solusinya cuma bicara pokoknya cuma si A, si B, si C,” kata Furqan AMC, aktivis 98 dari Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU) dalam diksusi santai “20 Tahun Reformasi” di KaKa Cafe, awal Mei 2018 lalu.

    - Advertisement -

    Menurutnya, sampai hari ini perdebatan tak jauh dari bila tida dukung A, maka disebut anti A. Begitu sebaliknya. Akhirnya tidak banyak yang bisa mengarah pada pembenahan struktural.

    Selain Furqan, diskusi ini juga dihadiri sejumlah narasumber dari aktivis 98. Mereka diantaranya Priston Sagala, aktivis 98 dari GMNI, Irzal Yanuardi, aktivis 98 dari FAMU, dan Budi Yoga, (aktivis 98 dari Unpar).

    Sementara itu, Budi Yoga melihat, saat ini Indonesia terjebak pada perangkap demokrasi prosedural seperti zaman Orde Baru. Di masa itu, demokrasi prosedural digerakkan oleh fasisme otoritarianisme.

    “Sekarang seolah-olah otoritarianisme itu hilang. Tapi ada kelompok-kelompok yang katakanlah fatalis, kebenaran seolah-olah hanya buat dia,” ungkap Budi Yoga.

    Jika gejala fatalis dan fanatisme makin meningkat, menurutnya hal itu tanda-tanda bahwa otorianisme telah kembali dalam bentuk lain. Jiwa otoritarianisme itu nggak jauh-jauh juga dari mereka dan saat ini masih ada.

    “Dan kalau dibilang kubu-kubuan, politik kultus ini tumbuhnya subur. Kita lihat di beberapa grup WhatsApp, kami juga agak terkejut melihat bagaimana politik kultus itu,” tambahnya.

    Sementara itu, Priston Sagala memandang pasca-reformasi dari sisi gelap. Ia mencontohkan, menjelang Pilpres 2019 orang-orang diseret pada politik ketokohan. Ironisnya, aktivis 98 pun termasuk dalam pusaran ketokohan atau kultus individu.

    “Kondisi hari ini kan semakin tidak menarik, mereka diseret, mereka yang membangun, mereka yang berjuang, tapi mereka diseret untuk memilih orang-orang yang tidak kita kenal dan kita kenal untuk mejadi RI 1,” kata Priston.

    Contohnya, lanjut pegiat anak ajalanan Bandung tersebut, kini masyarakat dihadapkan pada pilihan Jokowi dan bukan Jokowi. Jokowi merupakan “pendatang” baru di pentas politik nasional, sebelumnya tidak ada yang tahu bagaimana sejarah mantan walikota Surakarta itu.

    Lalu, kata Priston, muncul sosok Prabowo. Terlepas lepas dari masa lalunya, Prabowo sudah lebih dulu dikenal.

    “Terlepas argumentasinya nanti bahwa Prabowo ini itu, silakan. Ini yang tentunya harus diperhatikan secara seksama oleh kawan-kawan semua,” katanya.

    Di sisi lain, ada aktivis 98 yang akhirnya memilih realistis dan mengambil jalan pintas untuk masuk ke dalam partai tanpa motivasi yang jelas. Mereka gantungkan jeket perjuangan masa lalu. Keputusan ini tentu tidak salah.

    Tetapi Priston mengingatkan, pekerjaan rumah reformasi masih banyak yang belum tuntas. Mestinya aktivis yang masuk kekuasaan tidak melupakan agenda reformasi.

    Dari sisi historis, Irzal Yanuardi menilai, kemunduran gerakan mahasiswa 98 terjadi di masa Presiden BJ Habibe. Gerakan mahasiswa waktu itu mencapai puncaknya pada 13-14 September 1998. Ketika itu terjadi penembakan yang menewaskan  enam mahasiswa dan pristiwa ini dikenal dengan peristiwa Semanggi I yang menewaskan enam mahasiswa.

    Peristiwa Semanggi I, tambah Priston, menjadi titik awal kemunduran gerakan mahasiswa. Teman-teman mahasiswa sudah mulai terpecah belah.

    “Mahasiswa sudah mulai mendukung tokoh A, B, dan ada yang tak mendukung sama sekali,” paparnya.

    Pemerintahan Habibie lalu mengumumkan pembebasan pembentukan partai politik. Maka berjamurlah parpol di Indonesia. Beberapa aktivis mahasiswa ada yang masuk parpol baru, terjebak pada politik ketokohan, bahkan ada yang duduk manis berdampingan dengan kekuasaan.

    “Dan akhirnya mulailah gerakan mahasiswa mengalami penurunan-penurunan, tanpa membawa sebuah hasil yang maksimal dari yang kami cita-citakan, yaitu sebuah perubahan sosial yang benar-benar menyejahterakan masyarakat secara ekonomi dan sosial,” ungkap Priston.

    Setelah itu, perubahan yang diusung reformasi semakin tidak tentu arah. Banyak orang-orang yang mengaku sebagai tokoh reformasi padahal mereka justru memperkosa reformasi. Sementara persoalan bangsa yang diharapkan bisa berubah, tidak terjadi.

    “Akhirnya teman-teman terpecah belah, dan perubahan hanya menghasilkan kejatuhan seorang Presiden Suharto. Dan saya pikir 20 tahun ke depan dari peristiwa itu sampai hari ini saya masih berharap bahwa negeri ini benar-benar bisa mensejahterakan rakyatnya seperti yang saya cita-citakan dulu 20 tahun lalu,” ungkap Irzal.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here