Frino Bariarcianur
BANDUNG, KabarKampus—Penyakit sifilis pernah merepotkan pemerintahan kolonial Belanda di Jawa. Gani A. Jaelani dalam bukunya berjudul “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942”, penyakit ini adalah “kado” pertama peradaban Barat bagi pribumi.
Menurut Gani A. Jaelani, penyakit kelamin tidak hanya mencemaskan para dokter dan para moralis. Tapi juga menimbulkan kekhawatiran pada tataran politik masa itu. Saking banyaknya orang Belanda yang mengidap penyakit sifilis, pemerintah kolonial membuat undang-undang pelacuran.
“Tujuannya untuk menekan penyebaran penyakit kelamin,” kata Gani saat diskusi buku di Ruang C lantai 4 Wing Barat, Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Jln. Eijkman No. 38 Bandung, Kamis (20/02/2014) kemarin.
Gani juga menyatakan bahwa angka penyebaran penyakit kelamin pada masa kolonial Belanda paling tinggi terjadi pada kaum militer dan para pekerja perkebunan. Sehingga pemerintah kolonial memberikan perhatian khusus karena kedua kelompok tersebut merupakan pondasi kekuasaan kolonial.
“Kaum militer tentu berkaitan dengan penguasaan negara. Sementara dari sektor perkebunan, pada saat itu banyak dibuka perkebunan besar milik orang-orang Eropa, sehingga jika pekerja banyak yang sakit, tentu produksi akan menurun,” kata Gani.
Anda bisa bayangkan, di saat kolonial Belanda harus “kejar setoran” mengeruk hasil bumi di Jawa, para tentara dan tuan tanah tak bisa melakukan apa-apa. Mereka bahkan menuduh penyakit sifilis berasal dari pribumi yang mereka gauli.
Namun tuduhan itu terbantahkan sejak seorang dokter di Batavia bernama Van der Burg mengatakan bahwa sifilis banyak menyebar pada masyarakat yang sudah diinfiltrasi oleh orang Eropa. Dari hasil pengamatannya waktu itu, sifilis sedikit berkembang di daerah-daerah yang tidak banyak ditinggali oleh orang Eropa dan di tempat yang tidak banyak praktik perempuan gundik.
Menurut Ganim, Van der Burg menyatakan bahwa sifils merupakan kado pertama yang dibawa oleh peradaan Barat.
“Sehingga ada istilah civilisation sama dengan syphilisation. Peradaban sama dengan penyebaran sifilis,” ungkap dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya FIB Universitas Padjajaran (Unpad) ini.
Buku “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942”, tidak hanya melihat persoalan kesehatan tetapi juga membahas ranah politik, sosial, budaya yang terjadi. Buku memberi jalan terang bagaimana sebuah penyakit kelamin dapat menganggu konstelasi politik.
Sekilas Penyakit Sifilis
Penyakit sifilis atau dikenal juga dengan penyakit raja singa ini merupakan salah satu penyakit menular kelamin yang menakutkan. Penyebabnya adalah bakteri Treponema pallidum yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui hubungan seksual.
Dalam catatan-catatan kedokteran, luka luar di bagian vagina, anus atau di dalam dubur yang terjangkiti bakteri treponema pallidum mudah sekali menjangkiti orang lain. Bahkan luka ini juga muncul di bibir dan mulut.
Si bakteri yang menakutkan ini “hijrah” saat seseorang melakukan seks vagina, anal dan oral. Rupa alat kelamin pria dan wanita yang terjangkiti sifilis pun menjadi tak biasa.
Tanda-tandanya sifilis terdapat luka pada kelamin atau luka bisul yang bernanah dan bau. Pada tingkatan akhir, penyakit sifilis dapat merusak saraf, mata, pembuluh darah, liver, tulang dan persendian. Ada juga penderita yang merasakan mati rasa dan kelumpuhan. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan penyakit ini juga dapat menulari bayi dalam kandungan.
Pokoknya penyakit ini menakutkan sekali.[]






