Kembali, publik dihadapkan pada persidangan akibat tidak dipenuhinya permohonan informasi oleh badan publik. Kali ini, giliran Greenpeace Indonesia berhadapan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam perkara sengketa informasi dokumen HGU (Hak Guna Usaha) sawit. Perkara ini menambah deretan kasus-kasus ketertutupan ATR/BPN pada kepentingan publik.
BOGOR, KabarKampus – Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (PSA IPB) menilai Kementerian ATR/BPN masih menutup informasi tentang HGU sawit. Padahal HGU merupakan produk kebijakan public yang terbuka.
Hal ini disampaikan Linda Rosalina, peneliti Politik dan Kebijakan Agraria pada Pusat Studi Agraria IPB (PSA–IPB), Rabu, (20/02/2019). Pernyataan ini menanggapi akibat tidak dipenuhinya permohonan Informasi tentang HGU Sawit oleh Greenpeace Indonesia kepada Kementerian ATR/BPN.
Menurut Linda, alasan pemerintah tidak memberikan informasi tersebut adalah, karena dianggap bisa menciptakan persaingan tidak sehat. Sementara baginya, tidak ada alasan bagi badan public menutup informasi yentang HGU.
“Pasal 11 ayat (1) UU KIP sudah menegaskan bahwa HGU sebagai produk dari kebijakan publik merupakan informasi terbuka dan wajib disediakan setiap saat. Bahkan beberapa Putusan Pengadilan dan Putusan Mahkamah Agung juga sudah menjadi yurisprudensi untuk keterbukaan dokumen HGU sawit,” tutur Linda.
Selanjutnya, M. Shohibuddin, Kepala Program Dinamika Ekologi, Kependudukan, dan Agraria PSA–IPB juga menyayangkan sikap abai Kementerian ATR/BPN tersebut. Menurutnya sikap itu menutup-nutupi dan sekaligus kian mengukuhkan ketimpangan struktural di tanah sawit yang ironisnya kian menajam justru di era reformasi.
Sehingga bagi Shohibuddin, Proses demokratisasi pasca otoritarianisme rezim Soeharto justru telah mengantarkan pada penajaman ketimpangan ekonomi. Struktur ketimpangan ekonomi semacam ini senyatanya sejajar dengan struktur ketimpangan penguasaan aset agraria nasional.
Kepala Badan Pertanahan Nasional periode 2005-2012 pernah menengarai bahwa 56% aset nasional yang berupa tanah (kebanyakan dalam bentuk konsesi perkebunan) dikuasai oleh hanya sekitar 0,2% populasi Indonesia. Angka ketimpangan agraria ini nyaris identik dengan proporsi penguasaan simpanan uang yang tercatat dalam data LPS (Lembaga Penjamin Nasabah) per Oktober 2017 yaitu: 56,87% dari total simpanan uang di lembaga perbankan dikuasai oleh hanya 0,11% pemilik rekening di atas Rp 2 miliar.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan pada segelintir elit ekonomi sebagian besar diperoleh dari sektor sumber daya alam melalui penguasaan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang dikandungnya,” tutur Shohibuddin.
Oleh karena itu, Shohibuddin mendorong pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam menangani ketimpangan ekonomi dan juga ketimpangan penguasaan aset agraria. Keterbukaan informasi harus dilakukan sebagai pintu masuk bagi efektivitas publik membantu pemerintah mengawasi jalannya pembangunan SSA (Sumber-Sumber Agraria).
“Urgensi keterbukaan HGU dan informasi penguasaan Sumber Sumber Agraria sepatutnya mampu melampaui kepentingan politik 2019,” terangnya.[]