Photo: Shino chawan by Arimoto, Japan.
物のあわれ atau “mono no aware” dalam bahasa Jepang berarti “rasa iba terhadap segala sesuatu” atau “empati terhadap sesuatu yang tak kekal”. Mono no aware adalah satu konsep estetika dalam sastra lama Jepang dan pertama kali dikemukakan oleh Motoori Norinaga (1730-1801).
Norinaga mencatat bahwa mengalami mono no aware berarti menikmati hidup secara lebih dalam. Karenanya, konsep ini bukanlah melankoli (dari bahasa Yunani “μελαγχολία”, yang berarti “kesedihan”, atau “empedu hitam” dalam makna harfiahnya). Mono no aware bisa juga dimaknai sebagai cara untuk keluar dari kungkungan kesedihan diri, kesedihan yang terbatas, dengan cara menyadarinya dan menerimanya. Setiap kesedihan memang terbatas, tak ada kesedihan abadi, tak ada juga “duka-Mu abadi”. Kita tidak lagi mencari segala hal yang kekal dalam setiap kesedihan, oleh sebab kita sadar semuanya berubah, semuanya tak kekal—kekekalan di dunia ini hanyalah ilusi. Dengan kata lain mono no aware adalah satu cara untuk menikmati hidup secara lebih dalam ketika kita menyadari sifat ketidakkekalan di dalam dunia ini.
Penerimaan itu, meski sekilas, akan memunculkan semacam keindahan yang dalam, sesuatu yang membebaskan kesadaran kita dari ilusi. Itulah hakikat dari seni klasik Jepang, dan gemanya masih juga terasa hingga saat ini dalam seni modern atau kontemporer Jepang. Sekarang, mari kita coba rasakan prinsip “mono no aware” dalam empat Haiku yang ditulis oleh Ryokan*) berikut ini. Jika setelah membaca empat Haiku karya Ryokan ini Anda justru terjebak dalam melankoli, maka Anda keliru membacanya, atau pikiran Anda terlanjur terkurung oleh kesedihan personal dan terbawa pada saat membacanya. Mono no aware justru tidak membawa pada kesedihan apa pun, tetapi membawa pada kebijaksanaan yang dalam, pada kedamaian segala sesuatu di sekitar Anda.
EMPAT HAIKU KARYA RYOKAN
1/
留守の戸にひとり淋しき散り松葉
Rusu no to ni
Hitori sabishiki
Chiri matsuba
Sad and lonely
Before a closed door—
Pine needles.
Sedih dan kesepian
Sebelum pintu ditutup—
Daun-daun cemara.
———————————————
2/
あめのふる日はあはれなり良寛坊
Ame no furu
Hi wa aware nari
Ryokan bo
On rainy day
The monk Ryokan
Feels sorry for himself.
Ketika hari hujan
Biksu Ryokan
Iba akan dirinya.
———————————————-
3/
焚くほどは風もて来る落ち葉かな
Takuhodo wa
Kaze ga motekuru
Ochiba kana
The winds gives
Enough fallen leaves
To make a fire.
Angin pun memberi
Cukup daun-daun gugur
Untuk menyalakan api.
———————————————-
4/
ぬす人に取り殘されし窓の月
Nusubito ni
Tori nokosareshi
Mado no tsuki
The thief left
Only one thing behind:
The moon by the window.
Pencuri itu pergi
Hanya satu hal tertinggal:
Bulan di luar jendela.
Banyak penulis puisi di Barat atau di Indonesia yang masih menganggap bahwa haiku merupakan ekspresi dari pikiran, emosi, atau melankoli penulisnya. Namun, para penulis haiku seperti Ryokan atau Issa atau Basho tidak menganggapnya demikian. Bagi Ryokan, haiku merupakan “buah matang” dari kesadaran, dari mono no aware, dari empati terhadap segala yang tidak kekal. Bila Anda tak memahami dengan benar prinsip mono no aware ini, maka Anda tidak mungkin menulis haiku dengan mendalam, tetapi (mungkin) hanya menulis puisi. Di Jepang sendiri, pada masa klasik, haiku tak pernah dianggap sebagai puisi (seperti orang kini memahaminya). Haiku bagi Ryokan atau Issa atau Basho adalah seni dari kebijaksanaan tertinggi, sebuah momen yang tak terganti, yang hadir di dalam kehidupan sehari-hari.
———————————————-
*) Ryokan Taigu (良寛大愚, 1758-1831) ialah seorang biksu ekstentrik dari sekte Zen Soto yang sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai seorang petapa. Ryokan dikenang karena puisi dan kaligrafinya, yang menyajikan esensi dari kehidupan Zen.
————————————————————————————
Esai & Terjemahan Haiku © Ahmad Yulden Erwin, 2014
————————————————————————————