Prabowo Setyadi
Pada tahun 2006, Ivan sang vokalis Burgerkill meninggal dunia karena sakit. Sementara BurgerKill sedang mempersiapkan rilis album “Beyond Coma and Despair”. Dan Panggung di taman Skatepark 18 Park Bandung menjadi panggung terakhir Ivan.
“Itu cobaan yang terberat,” kata Eben mengenang peristiwa beberapa tahun silam.
Bagi Eben tidak mudah untuk menghadapi cobaan itu. BurgerKill tengah sibuk mempersiapkan album, Ivan tiba-tiba meninggal. Mereka memutar otak untuk mencari solusi. “Sempat terpikir BurgerKill dibubarkan saja,” kata Eben. Mereka kehilangan semangat.
Tapi takdir bicara lain. BurgerKill harus tetap hadir ada atau tidak ada Ivan. Kepergian Ivan menjadi sebuah dorongan positif untuk bangkit.
Untuk mengisi suara, BurgerKill menggunakan additional vocalist saat manggung di sejumlah kota di Pulau Jawa. Sementara mereka juga harus mencari vokalis baru pengganti Ivan. Pikiran mereka bercabang. Dasar anak Ujungberung, gakkan pernah berhenti sebelum cita-cita tercapai.
Untuk menjadi vokalis BurgerKill, setiap calon harus mengirimkan demo suara mereka. Ada sekitar 28 orang yang mengirimkan contoh suara. Lalu disaring kembali menjadi 4 calon. Mereka adalah Teguh, Viki, Andika, dan Fahmi. Tak cukup di situ, BurgerKill juga melakukan interview. Kemudian mengajak ke-4 calon bintang ini ke studio rekaman.
Untuk memilih vokalis baru, mereka juga memanggil para Begundal, fans BurgerKill. Akhirnya, Viky terpilih.
BurgerKill berubah. Perubahan yang paling signifikan adalah image. Bisa dibilang BurgerKill selalu berbicara tentang hal-hal yang berbau depresi. Dan ketika Viky terpilih, BurgerKill sepakat untuk tidak mau membicarakan depresi lagi. Mereka mulai membicarakan kritik sosial, korupsi dan juta ketamakan manusia. Album bertajuk Venomous (2011) memaparkan sikap BurgerKill terhadap peristiwa dan kejadian sosial terkini.
“Ivan bicara tentang kemelaratan. Ya karena hidup dia melarat. Nomaden, pesakitan. Jadi dia otomatis menulis apa yang dia rasakan. Pada era Viki berbeda. Viki lebih sehat. Latar belakang keluarganya lebih baik,”papar Eben.
Tantangan pertama buat Viky ia harus meneguhkan kepada para Begundal, ia layak menggantikan Ivan. Jika di album “Beyond Coma and Despair” bersuara Ivan, maka di panggung lagu-lagu berjudul “Darah Hitam Kebencian”, “We Will Bleed”, “Shadow Of Sorrow”, dan “Laknat” bersuarakan viky.
Bukan tak ada pro dan kontra. Tapi BurgerKill tak peduli, mereka harus jalan terus. Sejumlah Begundal belum siap menerima kenyataan. Untunglah, semua bisa bernafas lega, warna vokal Viky bisa diterima oleh telinga para Begundal. Bahkan Viky pun memberikan warna lain dalam scene underground.
“Kita tidak mau cari viokalis kaya Ivan. Pertama ya karena susah. Kedua, kita tidak suka dengan sesuatu yang tipikal. Kita tidak suka stagnan. Harus progres dan progres. Dalam proses kreatif juga saya sudah menyiapkan materi yang fit dengan karakter vokalnya Viki. Secara notasi, struktur memang disiapkan dengan tipikal vokal Viki,” ungkap Eben.
Burgerkill adalah sebuah produk band yang dihasilkan oleh lima kepala dengan latar belakang musik yang berbeda. Dan disatukan dalam satu band menjadi sebuah ramuan musik yang letaknya ada di scene underground. BurgerKill lahir dari fenomena unik di pinggiran kota Bandung tahun 1995.
Dengan semakin berkibarnya underground, para musisi underground termasuk BurgerKill tidak bisa sembarangan membuat karya musik. Itu sudah menjadi tanggung jawab para musisi asal Ujungberung.
Dari panggung internasional seperti Western Australian Tour, Tur Malaysia-Singapura, Festival Musik Internasional Soundwave Australia, Festival Musik Internasional Big Day Out, review di Majalah Metal Hammer, Revolver, Load Mag Australia, Drum Media Australia, Express, suara-suara Ujungberung semakin terdengar.
Dan yang terbaru, BurgerKill masuk dalam nominasi kategori “Metal As Fu**” dalam Golden Gods Award 2013 sebagai garda terdepan dalam kebangkitan musik metal di Indonesia. []