
Pada 7 Juli 2025, kapal bantuan Handala yang membawa 21 aktivis, jurnalis, serta bantuan berupa susu bayi, makanan, dan obat-obatan, dicegat oleh angkatan laut Israel di perairan internasional. Koalisi Freedom Flotilla yang mengoperasikan kapal tersebut menyebut Israel bertindak brutal dengan menyita semua kargo dan memutus seluruh alat komunikasi.
“Semua muatan adalah bantuan sipil non-militer untuk warga yang menghadapi kelaparan dan kehancuran medis akibat blokade ilegal,” demikian pernyataan mereka.
Sementara itu, bantuan udara dari Yordania dan Uni Emirat Arab juga telah dilakukan. Namun, Kepala UNRWA Philippe Lazzarini menyebut metode ini tidak efektif dan beresiko membahayakan warga.
“Menjatuhkan bantuan dari udara itu mahal, tidak efisien, dan bahkan bisa membunuh warga yang kelaparan. Ini adalah pengalihan isu,” tegasnya.
Lazzarini menggambarkan kondisi warga Gaza sebagai “mayat berjalan”. Anak-anak disebut sangat kurus, lemah, dan dalam risiko tinggi meninggal tanpa intervensi cepat. Ia mendesak adanya kemauan politik global untuk mengakhiri krisis ini.
“Kelaparan buatan hanya bisa dihentikan dengan membuka blokade, membuka perlintasan, dan memastikan bantuan dapat masuk secara aman dan bermartabat,” ujarnya.
Sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023, hampir 60.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 144.000 lainnya terluka. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Infrastruktur Gaza hancur, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan ancaman kelaparan semakin nyata.
Israel memulai ofensif setelah serangan mendadak oleh Hamas yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menyandera lebih dari 250 orang. Namun, meski tekanan internasional terus meningkat, hingga kini pemerintah Israel menolak menyerukan gencatan senjata penuh.






