Ahmad Fauzan

JAKARTA, KabarKampus – UKM Fotografi Wreta Aksa Universitas Nasional (Unas) mengundang Seno Gumira Ajidarma untuk membedah buku fotografi yang berjudul “Volume” di kampus Unas, Jakarta, Rabu (14/12). Buku itu mengisahkan kehidupan masyarakat dari mulai memasak, bermain, bekerja, dan belajar di kolong jembatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Seno Gumira Ajidarma mengatakan, fotografer harus lebih menghayati foto.
Untuk menceritakan kehidupan masyarakat tidak cukup hanya memotret. Tidur di tengah masyarakat semalam saja, hasilnya akan berbeda dengan memotret 1 atau 2 jam.
Menurutnya, selama ini kita melihat masyarakat miskin dengan rasa kasihan, namun setelah didalami kita akan mendapatkan kesan yang berbeda dari mereka. Kita akan mendapatkan senyum dan kebahagian mereka. Perkembangan foto digital membuat setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi fotografer, namun sebagai calon sarjana seharusnya lebih kuat unsur kedalamanya.
Seno Juga menyinggung soal Seni dalam fotografi Jurnalistik, menurutnya foto seringkali terbebani oleh nilai seni, dan itu salah. Fotografi adalah media untuk menyampaikan sesuatu. Atas nama seni seringkali mengaburkan realitas yang ada di masyarakat. Misalkan pengemis yang cantik akan kehilangkan realitasnya sebagai seorang pengemis, kalau yang diangkat adalah seni. Seni yang mempengaruhi secara dominan, membuat fotografer tega menyingkirkan apa yag harus diceritakan.
“Sebaiknya seni itu diberikan kepada seniman saja. Kalau pendekatannya laporan jurnalistik, belajarlah kepada foto yang bukan seni. Yang paling penting lupakan seni itu,” tegas Seno
Seno menambahkan, menjadi fotografer kemampuannya akan terbangun asalkan sering memotret, sering diskusi, sering menanyakan foto orang lain, dan meminta masukan dari orang lain. Selain itu Seno juga menyarankan untuk mengekplore foto hitam putih, yang kadang foto hitam putih lebih mampu menyampaikan pesan daripada foto berwarna.
Seno mengingatkan bahwa tulisan tak kalah penting dari foto, apa yang tidak bisa disampaikan oleh foto, akan disamapaikan melalui tulisan.
Afifah Rodhiya Salma, salah satu fotografer mengungkapkan, bahwa buku tersebut ingin menyampaikan pesan moral kepada masyarakat bahwa di Jakarta ada orang yang tinggal di kolong jembatan yang jauh dari kelayakan.
“Kami mencoba untuk sedikit iba terhadap kaum marjinal Jakarta,” tuturnya.
Namun Afifah mengakui pesan yang ingin disampaikan dalam buku tersebut kurang mendalam dan kurang pendekatan, karena dibuat dalam dengan waktu singkat. []






