Ahmad Fauzan Sazli
SURABAYA, KabarKampus – Printer yang dapat mencetak objek tiga dimensi (3D) menarik hati Aditya Brahmana, Didik Purwanto dan Farras Kinan untuk memilikinya. Karena harga printer tersebut terlalu mahal, membuat ketiga mahasiswa tersebut urung untuk memilikinya.
Menurut Aditya, printer tiga dimensi berharga Rp 20 juta lebih. Harga tersebut benar-benar tidak murah untuk mahasiswa.
Aditya menjelaskan, Printer 3D itu dapat mencetak bentuk apapun dalam desain 3D. Baik gambar bangunan, patung, maket, atau desain 3D lainnya. Bahkan printer tersebut saat ini sedang dikembangkan untuk mencetak jantung.
”Tintanya dari sel-sel darah yang ada di tubuh manusia, yang kemudian membentuk jantung,” jelasnya.
Hingga akhirnya Adit dan kedua temanya mencoba membuat printer 3D versi mereka sendiri. Mereka pun mengadopsi teknologi dari printer 3D yang ada di pasaran.
Teknologi yang mereka gunakan ialah Additive Manufacturing, yakni proses pembuatan benda padat tiga dimensi yang berasal dari sebuah model digital. Teknik ini diimplementasikan secara berurutan mulai dari pencetakan lapisan paling bawah hingga lapisan paling atas. Urutan tersebut didasarkan pada koordinat yang telah ditentukan lewat software desain tiga dimensi.
Aditya, menambahkan, printer 3D versi mahasiswa ITS ini masih tergolong sederhana. Pasalnya, baru dapat mencetak objek yang berasal dari tinta plastik saja. Selain itu, objek yang bisa dicetak hanya satu warna, bergantung pada tinta plastik warna apa yang dimasukkan. Tinta plastik yang digunakan printer 3D ini berjenis PLA Polilatic Acid.
Akan tetapi, meskipun sudah berhasil menciptakan sebuah teknologi, beberapa kendala sempat menghampiri tiga mahasiswa ITS tersebut. Salah satunya ialah membedakan fungsi microcontroller A dengan microcontroller yang lain. Sehingga, mereka harus mencoba satu per satu untuk mengetahui fungsi microcontroller yang paling maksimal.
‘Kami melakukan trial and error hingga menemukan yang paling bagus,” terang Adit.
Adit mengaku, untuk mematangkan konsepnya mereka bertiga membutuhkan waktu tiga bulan. Kemudian dilanjutkan dengan proses perakitan secara manual selama tiga bulan pula. Adapun dana yang dihabiskan mereka untuk membuat printer 3D hanya berkisar Rp 5 juta.
“Jumlah tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan harga aslinya dipasaran. Bagi kami, nilai tersebut cukup murah dari pada harus beli dengan harga puluhan juta,” lanjut Adit.
Setelah didapatkan cetakan terbaik, mereka pun mencoba peruntungan dengan mengikutsertakan printer 3D ke beberapa kompetisi teknologi seperti Gemastik. Tidak disangka, printer 3D rakitan mereka berhasil mendatangkan pretasi. Prestasi tersebut berupa juara pertama kategori Embedded System dalam Pagelaran Mahasiswa Nasional bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (GEMASTIK) 6 2013.
Untuk rencana selanjutnya, mereka berkomitmen untuk mengembangkan printer 3D tersebut. Di samping itu, mereka juga berharap printer tersebut bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
”Kita akan mengembangkannya agar dapat mencetak dua warna tinta. Sehingga tidak monoton hanya satu warna saja,” pungkas Didik.[]