Sore itu seorang nenek berkerudung muncul dari sudut ruangan. Ia muncul dengan sebuah gitar dan berkeluh kisah soal pohon durian di kebunnya yang tak kunjung berbuah.
Nenek itu adalah Rona Mentari, mahasiswa tingkat akhir jurusan Komunikasi Universitas Paramadina. Rona saat itu sedang mendongeng sekaligus memerankan seorang nenek dalam cerita dongeng di Festival Dongeng Bandung yang digelar hari Minggu, (07/09/2014) lalu.
Ketika itu Rona mendongeng dengan teatrikal. Ia dibantu oleh kedua orang temannya yakni, Ibrahim yang berperan sebagai Buaya dan Elis yang berperan sebagai Zebra. Dongeng Rona berkisah soal pohon duren yang tak kunjung berbuah karena sampah yang menumpuk di sekitarnya. Karena banyak sampah, kekelawar yang biasanya mengeluarkan kotoran dan membuat tanah subur tidak mau datang ke kebun duren tersebut.
“Intinya saya mengajak anak-anak membuang sampah pada tempatnya,” kata Rona menjelaskan nilai dongeng yang disampaikanya.
Begitulah cara Rona untuk menarik perhatian anak-anak agar mendengarkan cerita dogengnya. Namun mendongeng seperti ini bukan kali ini saja dilakukannya. Kegiatan mendongeng telah dilakukan sejak kecil, bahkan perempuan kelahiran Yogyakarta 1992 ini sudah menjuarai perlombaan mendongeng saat duduk di kelas 5 SD.
“Pas awal mendengarkan dongeng karena sangking sukanya hafal dan menyampaikan ulang dongeng ke orang tua. Kemudian diberi fasilitas mengikuti lomba dongeng. Pertama ikut langsung juara,” ujar anak dari pasangan Ayah dan Ibu bernama Shihono dan Dewi Katmandu ini,
Sejak saat itu Rona istiqomah untuk mendongeng. Ia terus mencari cerita mengenai dongeng dari buku-buku. Cerita dongeng yang paling banyak digunakannya adalah cerita dari sosok Trimbil. Trimbil merupakan personifikasi dari seorang anak usia tujuh tahun yang jahil namun punya solusi terhadap persoalan sendiri.
Rona memang sangat suka mendongeng. Tak terhitung sudah jumlahnya. Ia tak hanya mendongeng di Indoneia, namun juga sampai ke Sydney Australia dan Singapura.
Menurut Rona, dongeng adalah cara efektif untuk mendidik anak tanpa anak merasa digurui. Ia juga menganggap dongeng adalah sebuah cara untuk membangun bangsa. Baginya dengan dongeng sebuah bangsa bisa merancang masa depannya.
“Kenapa Inggris menjadi bangsa penakluk, karena anak-anak mereka diberikan dongeng penakluk,” katanya menjelaskan pentingnya dongeng bagi kemajuan sebuah bangsa.
Namun Rona merasa budaya mendongeng di Indonesia masih rendah. Bahkan ada salah seorang siswa di salah satu sekolah tidak tahu apa yang dilakukannya disebut dengan mendongeng.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, anak Indonesia perlu menikmati dongeng. Dongeng bisa membuat Indonesia bisa bersaing dengan bangsa lainnya.
Baginya dongeng bisa dilakukan oleh siapa saja. Seseorang tidak perlu menjadi penyihir untuk bisa mendongeng. “Yang penting punya niat untuk berbagi nilai kebaikan kepada anak-anak,” tutur Rona.
Rona sendiri terus mencari cari agar dongengnya menarik. Salah satunya adalah dengan teatrikal. Dan biasanya ia menggunakan wayang untuk menarik perhatian anak-anak. Tak hanya itu, ia pun sekarang mulai menulis cerita dongeng sendiri.
Mahasiswi yang aktif di Forum Indonesia Muda ini bermimpi ia bisa punya rumah dongeng yang bebas didatangi anak-anak. Ia juga bermimpi Indonesia punya wadah bagi para pendongeng sehingga bisa menyebarkan budaya dongeng secara masif di Indonesia.
“Saya berharap dongeng menjadi sebuah cara membangun bangsa Indonesia,” tutupnya.[]