YOGYAKARTA, KabarKampus – Meski Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 berdampak pada hubungan negara barat dengan negara baru merdeka di belahan bumi Selatan dan sangat penting dalam penataan hubungan internasional. Namun kajian akademis mengenai KAA tersebut masih sangat minim.
Prof. Dr. Mochtar Mas’oed, Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional UGM mengatakan, semangat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika merupakan bagian dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif yang dicetuskan oleh Muhammad Hatta pada September 1948 di Yogyakarta. Disayangkan belum banyak kajian akademis yang mendukung tentang penjelasan mengenai politik luar negeri bebas dan aktif tersebut.
“Yang disampaikan Hatta itu jelas statement politik bukan hasil studi. Kita ingin ada perspektif baru dalam pendidikan hubungan internasional kita yang selama ini condong ke Amerika,” kata Mochtar kepada wartawan, Senin (06/04/2015).
Ia menuturkan, mayoritas pendidikan ilmu hubungan internasional yang diterapkan di perguruan tinggi di Indonesia menganut konsep pendidikan yang diajarkan di negara Amerika Serikat. Padahal sudah sepatutnya diubah dengan mengembangkan pendidikan politik luar negeri yang sesuai perspektif politik dan budaya Indonesia.
“Politik luar negeri kita dari sisi kajian akademik terbengkalai. Kita ingin seperti (alm) Prof. Sartono Kartodirjo (Sejarawan UGM), melihat sejarah dari kacamata Indonesia,” katanya.
Oleh karena itu dalam memperingati perayaan 60 tahun Konferensi Bandung 1955, Universitas Gadjah Mada bersama Universitas Queensland Australia menyelenggarakan Bandung Conference and Beyond: Rethinking Internastional Order, Identity, security and Justice in a Post-Western World, pada 08-09 April 2015 di Balaisenat UGM, Yogyakarta.
Dalam acara ini sebanyak 52 makalah akan dipresentasikan para pembicara l dari berbagai negara meliputi Indonesia, Amerika Serikat, Jamaika, Belanda, Taiwan, Filipina, Sri Langka, Malaysia dan Jepang. Konferensi ini akan dibuka oleh Menteri Luar Negeri RI Retno L.P. Mardusi. Adapun beberapa pakar hubungan internasional yang diundang diantaranya Prof Amitav Acharya dari American University, Prof Ramakrishnan dari Universitas Jawaharlal Nehru India dan Prof. Andrew Phillips dari Universitas Queensland Australia.