Oleh: Rachmad P Panjaitan, Ketua PP FMN
Beberapa hari ini masyarakat kembali dikejutkan dengan sebuah fenomena munculnya beras plastik. Munculnya beras plastik ini sangat meresahkan masyarakat, bahkan melebihi isu “begal” beberapa waktu lalu. Konon dalam perkembangannya beras plastik sudah sempat dikonsumsi di beberapa daerah seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang.
Berbeda dengan beras pada umumnya, beras plastik terbuat dari bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan yang mengkonsumsinya.
Hasil penelitian dari Laboratorium yang disampaikan secara luas kepada masyarakat mendapatkan bahwa beras palsu yang ditemukan di Bekasi tersebut memang mengandung bahan pembuat plastik yaitu Benzyl Butyl Phthalate (BBT), Bis 2-ethylhexyl Phthalate (DEHP) dan Diisononyl Phthalate (DNIP). Bahan-bahan dasar ini bukan bahan yang boleh dikonsumsi oleh tubuh manusia. Bila dikonsumsi dapat menimbulkan keracunan dan kondisi kesehatan yang buruk. Secara akut bisa saja terjadi gangguan langsung pada sistim pencernaan.
Makanan yang mengandung plastik akan butuh waktu yang lama berada di dalam lambung. Hal ini akan menimbulkan perut serasa penuh dan cepat kenyang. Gangguan yang terjadi selanjutnya bisa juga mengalami mual-mual dan muntah.
Ciri-ciri beras plastik atau palsu mencakup empat bentuk. Pertama, dari bentuknya, tampilan beras asli memiliki guratan dari bekas sekam padi, sedangkan beras plastik tidak terlihat guratan pada bulirnya dan bentuknya agak lonjong. Kedua, dari ujung-ujung bulir beras, pada beras asli terdapat warna putih di setiap ujungnya, warna tersebut merupakan zat kapur yang mengandung karbohidrat. Sedang beras bercampur plastik tidak ada warna putihnya. Ketiga, jika beras asli direndam dalam air maka akan berubah warna menjadi lebih putih, sedangkan beras plastik hasilnya tidak akan menyatu dan airnya tidak akan berubah menjadi putih. Keempat, jika beras palsu ditaruh di atas kertas maka terlihat beras tidak natural, berbentuk lengkung, tidak ada patahan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata ada unsur phthalate dalam kompenen beras palsu dari Bekasi tersebut. Phthalate bisa diserap oleh usus kita, masuk kedalam darah dan sampai di hati. Zat ini akan merusak liver sehingga sistim pencernaan akan terganggu lebih lanjut. Pada penelitian binatang paparan phthalat pada liver akan menyebabkan berkembangnya kanker liver. Namun yang menjadi pertanyaan yang paling mendasar yang harus dapat dijawab adalah dari mengapa muncul beras berbahan plastik dan siapa yang bertanggung jawab atas beras plastik ini?
Akar Masalah Munculnya Beras Plastik
Hingga saat ini berbagai asumsi telah berkembang demi membuktikan dari mana datanganya beras plastik. Ada dua asumsi yang sering mengemuka, yaitu beras plastik datang dari luar negeri dan ada yang mengasumsikan datang dari dalam negeri. Terlepas dari asumsi tersebut, kemunculan beras plastik adalah bukti nyata kegagalan pemerintah dalam memperhatikan swasembada pangan dalam negeri di Indonesia.
Selama ini pemerintah hanya mampu memenuhi ketahanan pangan di Indonesia dengan meningkatkaniImpor beras dari luar negeri. Akan tetapi, permasalahan swasembada pangan yang tidak kunjung terealisasikan di Indonesia dikarenakan masih terus berlanjutnya praktek monopoli dan perampasan tanah yang semakin meluas di Indonesia.
Sementara keberadaan beras plastik di pasaran erat kaitanya dengan bagaimana kondisi perekonomian dan pangan di Indonesia. Kontrol yang lemah dan kebijakan ekonomi neoliberal imperialisme AS yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK, menyebabkan terus melonjaknya kebutuhan pokok rakyat Indonesia, terutama harga beras.
Tentunya melonjaknya harga beras menjadi pukulan yang dahsyat bagi rakyat Indonesia. Artinya rakyat Indonesia semakin dipersulit untuk mampu memenuhi kehidupan pangannya sehari-hari. Persoalan ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari orientasi rejim Jokowi-JK dalam hal pangan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, pemerintah melakukan dan menjalankan kebijakan impor beras besar-besaran dari negara seperti Thailand, Vietnam, Pakistan, Malaysia, dan Tiongkok.
Pada periode Februari 2015 saja, pemerintah mengimpor beras sebanyak 7.912 ton atau senilai dengan US$ 3,1 juta. Dengan komposisi impor, Thailand 1.030 ton atau US$ 615.000, Vietnam 550 ton atau US$ 219.000, Pakistan 6.000 ton atau US$ 2,1 juta, Tiongkok 32 ton atau US$ 121.000, Malaysia 300 ton atau US$ 28.000. Kebijakan ini sungguh ironi, di tengah mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani dan bekerja di sektor pertanian, justru negara tidak mampu mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Sementara itu, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah tetap saja melanggengkan skema impor beras untuk memenuhi kebutuhan nasional dan tentunya tidak berpihak pada kehidupan petani Indonesia. Jokowi yang pernah berjanji menghentikan impor beras, ternyata hingga saat ini Jokowi masih tetap menjalankan impor beras secara besar-besar terutama dari Vietnam dan Tiongkok. Hal ini menunjukkan, watak asli pemerintah sebagai pelayan dari para pengusaha besar baik asing maupun dalam negeri, yang terus saja melakukan penaikan harga beras di pasar.
Saat ini harga beras rata-rata yang beredar di pasaran berkisar antara Rp 7.500 sampai Rp 10.000.
Sedangkan Bulog sebagai lembaga yang mengurusi secara langsung ketahanan pangan dan pendistribusian beras kepada masyarakat, masih pula gagal untuk melayani masyarakat Indonesia. Malah di saat beras mahal, Bulog hanya mempunyai solusi untuk membuka pasar murah dengan menjual beras miskin yang berkutu kepada rakyat Indonesia. Maka teror beras plastik yang menyebar ke masyarakat adalah kegagalan dan tanggung jawab Jokowi-JK beserta lembaga Bulognya.
Swasembada pangan dan Reforma Agraria Jokowi-JK adalah Isapan Jempol belaka
Beredarnya teror beras plastik di tengah masyarakat Indonesia yang menimbulkan keresahan, adalah bentuk kegagalan Jokowi-JK untuk memenuhi janjinya menjalankan swasembaa pangan di Indonesia. Kegagalan swasembada pangan disebkan tidak terlaksananya reforma agraria sejati di Indonesia masa Jokowi-JK.
Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa rencana program reforma agraria ala rejim Jokowi-JK adalah sebuah simbol dan bahkan prakteknya menjadi skema melanjutkan perampasan dan monopoli tanah di Indonesia. Karena buktinya reforma agraria Jokowi-JK tidak mendistribusikan tanah kepada petani maupun rakyat Indonesia.
Demikian pula penguasaan sumber daya alam yang saat ini masih diberikan untuk dikelola borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan imperialisme khususnya AS.
Pada perkembangannya, tanah-tanah pertanian, khususnya sawah di Indonesia mayoritas telah dikuasai oleh korporasi besar milik imperialis dan tuan tanah besar. Sebagai contoh, tanah seluas 2,8 juta hektar di wilayah Merauke, Papua dijadikan wilayah Food Estate dan diperuntukan bagi perusahaan asing, dimana Bin Laden Group yang sahamnya mayoritas dipegang imperialis AS. Proyek tersebut bukan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, namun berorientasi memonopoli pangan di pasar internasional dan Indonesia untuk meraup keuntungan. Selain itu, perusahaan korporasi asing seperti mosanto, cargil, nestle, dan perusahan dalam negeri Indofod, Sucofindo, Sinar Mas menjadi perusahaan yang secara nyata menguasai dan memonopoli ketahanan pangan di Indonesia
Selanjutnya dalam rangka menanggapi kemunculan beras plastik, pemerintah Jokowi-JK melalui kementerian perdagangan malah mengumumkan rencana pengaturan Merek beras yang beredar. Tujuannya ini adalah menjadikan momentum teror beras plastik untuk mengatur dan menentukan merek beras yang beredar di Indonesia, yang pasti akan semakin memberikan keleluasaan kepada perusahaan-perusahaan besar tadi untuk semakin menguasai ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini jelas mengindikasikan pemerintah akan memastikan monopoli perdagangan beras pada para perusahaan berskala besar saja. Sehingga para petani Indonesia dan para pengusaha kecil produsen beras tidak dapat lagi menjual dan memasarkan beras-beras mereka.
Jika demikian yang terjadi, maka pemerintah rejim Jokowi-JK semakin nyata memperlihatkan wataknya sebagai rejim yang anti kepada rakyat, khususnya kaum tani dan menjadi pelayan yang setia bagi para tuan imperialis dan borjuasi besar, serta tuan tanah besar. Itu yang menegaskan kegagalan pemerintahan Jokowi-JK untuk menyelenggarakan swasembada pangan dan reformasi agraria sejati di Indonesia.[]