Penulis: Derry Perdana Munsil, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Unhas.
Masih hangat dalam perbincangan di kalangan akademis maupun dikalangan aktivis kampus terkait dengan munculnya UU PT No.12 tahun 2012, yang sebenarnya tidak lain adalah turunan dari UU BHP itu sendiri. Sebenarnya substansi dari UU PT sendiri masih banyak yg mencontek alias menjiplak dari UU BHP yang terkesan sedikit liberal dan komersil. Kita juga tidak bisa menampik bahwa sesungguhnya UU PT ini adalah salah satu hasil persetujuan yang telah dibuat oleh negara WTO (World Trade Organization) dalam GATS (General Agreement on Trades in Services)-nya.
Sektor pendidikan menurut negara WTO merupakan salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasikan orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan (Prof.Dr. Soffian Efendi). Tiga negara yang kemudian mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan ini adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds.,2002,hh 104-105). Dalam sebuah survey yang diadakan tahun 1993 menunjukkan bahwa industry jasa yang paling menonjol orentasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Dari fakta diatas, mengapa kemudian tiga negara tadi sangat ingin menuntut liberalisasi sektor pendidikan melalui WTO.
Benarkah Liberalisasi Pendidikan?
Dalam Bab VI Pasal 94 UU PT tertulis dengan sangat besar “Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Oleh Lembaga Pendidikan Negara Lain”. Jadi bisa dikatakan bahwa jika UU PT ini disahkan, maka kita akan melihat Universitas Cambridge di Indonesia, Universitas Harvard di Indonesia, dan universitas-universitas asing masuk ke Indonesia. Mungkin beberapa orang akan senang dengan munculnya universitas-universitas asing di Indonesia. Namun apa dampaknya bagi perguruan tinggi lokal yang ada di Indonesia ?
Tentunya tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia pada tahun 2005 baru mencapai 14 persen, jauh dibawah Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40 persen. Karena kemampuan keuangan pemerintah Indonesia yang sangat terbatas dalam masalah anggaran pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia yang tidak mungkin dilakukan hanya dengan sumber dana domestik saja, tapi juga melalui provider luar negeri. Dan itu bisa kita lakukan melalui globalisasi pendidikan.
Walaupun globalisasi pendidikan tinggi yang dilakukan oleh Indonesia nantinya akan bertujuan untuk memperbaiki mutu dari pendidikan tinggi di Indonesia tentunya akan mengalami gangguan terhadap kedaulatan rakyat. Kemandirian bangsa yang kita cita-citakan untuk mengatur kebijakan pendidikan di negeri sendiri terpaksa harus dikorbankan untuk diatur juga oleh negara asing. Pengaturan kebijakan pendidikan oleh negara asing ini, tidak lain akan menyebabkan kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tidak terhindarkan. Karena lepasnya peran negara dalam mengontrol pendidikan tinggi asing. Akhirnya banyak dari universitas-universitas menaikkan biaya pendidikan tinggi untuk memastikan operasional akademik tetap berjalan. Tidak peduli berapa jumlah mahasiswa yang ada saat itu.
Maka, tujuan awal dari universitas yaitu mencerdaskan anak-anak bangsa dan mengubah dari yang tidak tahu menjadi tahu nantinya akan mengalami disorentasi yang lebih mengedepankan profitnya daripada tujuan awal didirikannya pendidikan tinggi ini.
Indikasi Adanya Komersialiasi Pendidikan
- Aset Kampus Bebas Disewakan oleh Universitas dengan biaya mahal
- Perguruan Tinggi Asing Boleh Mendirikan ‘Cabang’ di Indonesia
- Mahasiswa yang tidak mampu akan disuruh “Berutang” kepada pemerintah dan akan dibayar setelah lulus kuliah atau sudah kerja
- Organisasi Kemahasiswaan di Kampus akan diatur oleh Menteri
- UU PT adalah UU BHP Jilid II : rakyat akan semakin susah kuliah jika tidak punya uang.
- Perguruan Tinggi Swasta akan ‘berperang’dengan Yayasan karena sama-sama berbahan hukum
- UU PT berpontensi melahirkan banyak RUU baru, karena semua jenis pendidikan akan minta diatur oleh pemerintah.
Dua poin diatas terdapat indikator munculnya Komersialisasi Pendidikan, dalam pasal 69 ayat 3 huruf (e) dan (g) tertulis : “PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki : e. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi dan g. wewenang untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah”. Aset-aset yang dimiliki oleh universitas tentunya akan bebas disewakan oleh umum. Maka jika RUU PT ini disahkan, jangan heran jika kemudian ada booking-bookingan tempat untuk umum dan mahasiswa itu sendiri. Dan jangan heran jika kemudian mahasiswa harus mengalah karena kedahuluan booking oleh pihak luar kampusnya.
Dan mungkin dalam pasal 69 ayat 3 huruf (g) akan terlihat lebih gila lagi. Mungkin PT ini akan benar-benar menjadi sebuah PT (Perseroan Terbatas) milik negara, karena diberi kewenangan untuk mengelola kekayaan negara. Yang kemudian kita takutkan, adalah jika wewenangan untuk mengelola kekayaan negara ini digunakan untuk memperkaya dirinya. Karena sudah dipastikan 2015 nanti, gerbang pasar bebas sektor jasa pendidikan akan dibuka selebar-lebarnya dan universitas-universitas local tentu akan bersaing untuk mendapatkan profit yang besar dari mahasiswa kampus. Dan siap-siap yang menjadi korbannya adalah rakyat kecil.
Di dalam RUU PT ini juga ada yang lebih aneh, semua jenis pendidikan akan minta diatur oleh pemerintah. Ini dagelan politik apalagi, kok bisa-bisanya di dalam RUU itu minta diatur oleh pemerintah lagi. Ini,kan berarti akan muncul banyak peraturan-peraturan baru. Dan sekedar info, ternyata setiap pembahasan satu UU saja itu menghabiskan uang 1-2 Milyar. UU ini setidaknya berpotensi besar untuk memainkan anggaran dalam jumlah banyak yang tidak berpihak pada golongan mahasiswa ekonomi menengah kebawah.[]