Penulis buku ini pernah bangkrut tapi kegigihan mengantarkannya ke masa gemilang. Inilah buku yang mengisahkan dengan gamblang bagaimana perjuangan anak Singkawang meraih cita-cita.
“Jujur saja, sebagai anak kuliahan dari kota kecil yang baru melihat gemerlapnya ibu kota, saya langsung tergoda berpetualang dan menikmatinya. Dan, ternyata, saya jauh lebih senang pergi ke disko, dibanding mengurusi bisnis sendiri.”
Itulah sedikit penggambaran sosok penulis yang bernama Harianto Tian atau biasa dipanggil Hari. Di kampungnya sendiri ia dipanggil A Menk. Dia salah satu anak muda Tionghoa yang jengah tinggal di Singkawang lantas mengadu nasib di Jakarta.
Saat itu Singkawang jauh dari harapan sehingga banyak orang-orang hijrah menantang kerasnya kehidupan Jakarta.
Berhasilkah Harianto Tian?
Kalau ia cepat putus asa, tentulah kita tak bisa membaca pengalamannya lewat buku “The Power of Action”. Kalau ia larut dalam kehidupan gemerlap ibu kota, tentulah ia masih asyik nangkring di diskotik tanpa sadar, umurnya tak lagi ABG.
Awal cerita, pada tahun 1994 bersama rekannya, dengan modal 8 juta ia membuka bisnis cetak sablon. Hari yang masih kuliah tak fokus. Belum sampai setahun bisnisnya berantakan. Sepi order. Ini bisa dikatakan pengalaman pertamanya dengan dunia bisnis.
Selanjutnya pada tahun 1995 ia mengambil oper kontrak sebuah usaha konfeksi yakni terima jasa jahit di kawasan Angke Jaya, Jakarta. Dunia seperti berputar dengan cepat, tapi usaha sepertinya masih saja lambat. Apa yang harus dilakukan?
“…Saya akui, salah satu faktor terpenting apabila terjun ke dunia bisnis adalah membangun jejaring (networking). Hubungan baik dengan para relasi inilah yang selalu saja jaga dengan baik. Dalam dunia bisnis, networking adalah aset dalam arti yang sesungguhnya,” tulis Hari.
Networking ini adalah keluarga, kawan sekampung, pacar, tukang jahit, pelayan toko, dan siapa pun mereka yang mengenali kita sebagai seorang wirausaha. Orang-orang terdekat inilah yang kelak –tentunya dengan hubungan yang harmonis–turut membangun bisnis.
Bisnis konfeksi Harionto Tian berkembang. Tapi tak begitu pesat. Ia putar otak lagi, bagaimana mengembangkan bisnisnya agar lebih besar. Selang beberapa waktu kesempatan muncul. Ia pun nekat menerima orderan dari merek baju terkenal yakni Polo.
“Bisa ditebak, hasil produksi kami tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh Polo. Kami mendapatkan teguran keras dan harus mengganti sebagian hasil produksi yang tidak standar.”
Nasib Harionto Tian tak berhenti di situ. Pengalaman pahit membuatnya lebih bergairah. Ketika terpuruk, ia tak lantas marah-marah kepada dunia yang memberikan nafas Senin-Kamis. Ia harus melanjutkan usaha meski rintangan itu seperti mencekik lehernya.
Sebagai bos ia tak memainkan telunjuknya. Hari langsung mengawasi setiap produksi, kemasan, dan penjualan. Juga nasib orang-orang yang bekerja dengannya. Kelak di kemudian hari, orang-orang yang pernah hidup susah bersamanya merasakan nikmat dari kerja keras ini.
Buku “Power of Action” memaparkan secara lugas kiat-kiat sukses Harianto Tian sebagai pengusaha muda yang diperhitungkan di Jakarta. Buku ini pula memberikan pandangan bahwa menjadi pengusaha adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan, yang penting mau belajar dari setiap prosesnya.
“Dan setia pada tujuan,” kata Harianto Tian.
Pada akhir buku “The Power of Action”, Harianto Tian menulis,untuk maju mencapai tujuan, setiap kita harus terus melakukan aksi-aksi dan tidak pernah berhenti belajar dari pengalaman-pengalaman yang dilalui.
Mulailah dari hal-hal kecil, teruslah belajar dan lanjutkan dengan aksi….kelak Anda akan terkejut dengan pencapaian demi pencapaian hidup sendiri. []