ENCEP SUKONTRA
Sejak kecil Iyan Nurdin sudah terbiasa hidup di masjid. Hingga usia dewasa dan termasuk angkatan kerja, ia memilih bekerja di masjid. Pernah jadi konsultan bidang geodesi, tetapi akhirnya keluar dan memilih kembali ke masjid.
“Dari kecil saya biasa bermain di masjid, sambil belajar ngaji. Saat usia sampai SMP, SMA, sampai kuliah saya terbiasa tidur di masjid. Karena sudah terbiasa di masjid pernah terbesit kayaknya enak kalau kerja di masjid,” kata Iyan Nurdin yang kini menjabat Plt Direktur Eksekutif Masjid Salman ITB, kepada KabarKampus, baru-baru ini.
Di masa kuliah, Iyan menjadi aktivis Masjid Salman. Ia masuk jurusan geodesi ITB pada 1997 dan lulus 2002. Bidang keilmuannya adalah geodesi, yakni ilmu yang mempelajari pemetaan bumi.
“Sekarang mungkin sudah pada lupa ilmunya,” katanya.
Selain aktif di masjid yang dikenal pencetak para aktivis itu, ia juga mengurus madrasah di sekitar rumahnya di daerah Pelesiran, Bandung. Madrasah yang diasuhnya kemudian bekerja sama dengan Masjid Salman. Dari situ ia diajak menjadi pengurus Masjid Salman ITB.
“Selama aktif Salman, kuliah saya tetap jalan,” kata pria kelahiran Bandung 16 Mei 1980 ini.
Keinginan bekerja di masjid makin menguat. Ia berencana, inginnya permanen kerja di masjid. “Setelah lulus, rencanya saya ingin kerja di Masjid Salman sambil kerja di bidang geodesi.”
Pada 2009 ayah dua anak ini sempat keluar dari Masjid Salman karena mendapat pekerjaan sebagai konsultan di Tangerang. Namun pekerjaannya sebagai konsultan hanya bertahan seminggu. “Mugkin karena sudah terbiasa di masjid,” katanya.
Meski gaji sebagai konsultan sangat besar, ia akhirnya kembali ke Masjid Salman dan bertahan sampai sekarang. Teman-teman seangkatannya di bidang geodesi sudah banyak yang kerja dan memiliki penghasilan jauh lebih besar.
“Kalau gaji S1 ITB seharusnya saya sudah dapat lebih, dibandingkan dengan teman saya sekarang penghasilannya jauh sekali. Tapi saya merasa cukup saja. Kalau pun ada kekurangan, Alhamdulillah bisa diatasi,” katanya, saat disinggung mengenai biaya hidup berumah tangga.
Menurutnya penghasilan tergantung gaya hidup. Jika penghasilan besar sedangkan gaya hidup tinggi, tetap saja akan selalu merasa kekurangan. Selain itu, bekerja di masjid bukan untuk mencari uang, tetapi sebagai bagian dari pengabdian atau ibadah.
“Saya yakin kalau kita menolong agama Allah insyallah Allah akan menolong kita. Sampai sekarang saya dan keluarga masih bisa makan tiap hari, menyekolahkan anak,” tuturnya seraya tersenyum.
Anak pertama Iyan berusia delapan tahun dan sudah kelas dua SD. Sementara si bungsu masih empat tahun. Baginya soal rejeki sudah ada yang ngatur, sudah ditetapkan. “Rejeki pasti selalu ada, beda dengan keinginan yang belum tentu selalu ada,” katanya. []