Penulis: Abdul Rahman, S.H.,M.H (Ketua I Bidang Akademik STIH Cokroaminoto Pinrang)
Belakangan ini muncul trend atau ada kecenderungan para alumni dan mahasiswa suatu Perguruan Tinggi baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta mendatangi lagi lembaga almamaternya, bukan untuk sekedar melepas rasa rindu terhadap adik-adik kelasnya maupun sekedar bertemu dengan dosen-dosen waktu semasa kuliah dulu, namun untuk suatu kepentingan mendapatkan informasi tentang peringkat akreditasi almamaternya.
Informasi ini sangat diperlukan karena beberapa perusahaan atau institusi yang menampung para lulusan perguruan tinggi saat ini telah menjadikan peringkat akreditasi sebagai salah satu syarat dan indikator melihat kualitas pencari kerja yaitu dengan melihat kondisi real almamaternya terlebih dahulu. Demikian pula bagi calon mahasiswa baru yang akan mendaftar pada pada suatu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di daerah, terlebih dahulu akan mempertanyakan status peringkat Akreditasi PTS tersebut.
Hiruk pikuk mengenai Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) ini semakin menghangat, ketika muncul pertanyaan: Seberapa pentingnya nilai akreditasi tersebut bagi lulusan perguruan tinggi? Apalagi jika dipaparkan dengan fakta kompetensi pencari kerja mestinya juga menjadi pertimbangan penting bagi perusahaan atau institusi yang ingin memanfaatkan lulusan Perguruan Tinggi. Apalagi, pada gilirannya pertanyaan kritis tersebut akan bermuara pada dua hal yang sangat dikotomis. Pertama, status Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) bisa diyakini sebagai simbol kehebatan institusi untuk konteks pendidikan tinggi, sebab, masyarakat sangat terbiasa dengan kondisi ‘’nama besar institusi atau Perguruan Tinggi dengan status akreditasi yang baik atau sangan baik (B atau A)’’ sudah dipersepsi memiliki nilai lebih. Begitupun sebaliknya.
Kedua, keyakinan yang berlebihan itu kemudian membawa ‘’korban’’, yaitu lulusan Perguruan Tinggi dengan status Akreditasi kurang baik, kendati secara personal memiliki performa akademik dan kepribadian yang baik. Jika pengguna lulusan hanya melihat dan meminta lampiran status Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) almamater pencari kerja, maka pencari kerja akan tersingkir sebelum bertanding.
Mencermati perkembangan masyarakat dan pengguna lulusan perguruan tinggi yang semakin kritis dan cerdas, status Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan oleh siapapun, apalagi Perguruan Tinggi Swasta yang ada di daerah. Argumentasi yang bisa dikemukakan di sini adalah status Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) merupakan pertanggungjawaban atau akuntabilitas publik tentang kepastian terpenuhinya atau bahkan terlampauinya standar yang ditetapkan oleh Undang-Undang (UU).
Salah satunya perguruan tinggi di wilayah Kopertis Wilayah IX Sulawesi, dari 33 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang memiliki fakultas atau program studi ilmu hukum, masih berbeda-beda peringkat akreditasinya. Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di wilayah Ajattapareng dan Sul-Bar misalnya, baru 2 Perguruan Tinggi Swasta (PTS), khusus untuk program studi ilmu hukum yang memiliki peringkat akreditasi B, salah satunya adalah STIH Cokroaminoto Pinrang, jln. Teuku Umar No. 36 Pinrang.
Dengan demikian urgensi Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) yang ada di daerah tetap menjadi nilai dan hal yang sangat penting serta menjadi legitimasi yang sangat dominan bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di daerah. Dengan kata lain, secara kelembagaan, status Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) melekat dan menjadi ‘’wajah’’ yang bisa ditatap secara terang oleh siapapun.