Nurina Savitri
AUSTRALIA PLUS INDONESIA
Tak banyak ilmuwan Indonesia menggeluti bidang astrofisika, terlebih kaum perempuan. Berbekal kecintaan dan keikhlasan, Elida Istiqomah bertahan dalam dunia antar bintang yang langka ditekuni. Ia ingin membuktikan, manfaat ilmu bukan hanya sekedar uang.
“Pernah menonton film ‘Interstellar’?,” tanya Elida Lailiya Istiqomah kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia Nurina Savitri.
Pertanyaan itu ia ajukan untuk menggambarkan dunia astrofisika yang tengah digelutinya.
Dengan rinci, ilmuwan muda Indonesia ini menuturkan bidang disiplin yang ia tekuni selama 2 tahun terakhir. Astrofisika digambarkan Elida sebagai cabang ilmu fisika yang membahas hal-hal di luar Bumi.
“Seperti bintang, planet, komet, galaksi dan benda-benda luar angkasa lainnya di jagat raya ini,” tutur kandidat doktor astrofisika di Universitas New South Wales (UNSW) Australia ini.
Ia menerangkan, di antara bintang dan benda-benda luar angkasa itu tak sepenuhnya berisi ruang hampa. Beberapa dari mereka memiliki muatan.
“Isinya apa? Ada bagian-bagian berisi debu-debu dan gas yang mampat, baik suhunya ‘dingin’ maupun ‘panas’. Kalau ukurannya sangat besar biasanya disebut nebula atau awan molekuler raksasa,” jelas Elida Istiqomah.
Elida mengungkapkan, ia bersama rekan-rekannya di tim penelitian mengamati awan molekuler yang berada di galaksi Bima Sakti atau ‘Milky Way’.
Di balik semangat menggebu untuk mengenalkan dunianya, Elida mengaku, perkenalannya dengan bidang astrofisika baru dimulai ketika ia menjalani studi pasca sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Berbekal ilmu fisika yang dienyam saat studi S1 di UGM, perempuan berusia 30an tahun ini kemudian meneliti salah satu jenis bintang, yaitu bintang neutron (neutron star), untuk program master-nya tersebut.
Sejak saat itulah ia jatuh hati pada bidang astrofisika dan semakin tertarik mendalami awan molekuler.
“Karena awan molekuler yang berbeda- beda kerapatannya itu, (bisa jadi) merupakan bakal calon bintang (suatu saat akan menjadi bintang). Berarti, akan ada bintang baru yang lahir Atau bisa juga nebula itu merupakan sisa-sisa ledakan besar (supernova) yang terjadi di masa lalu. Nah, menarik kan?,” ujar perempuan yang memiliki motto hidup ‘Love what you do, and do what you love’ (Cintai apa yang kamu lakukan, dan lakukan apa yang kamu cintai) ini.
Perempuan berjilbab ini lantas memilih Australia sebagai persinggahan akademis berikutnya.
“Australia memiliki banyak sekali teleskop, baik teleskop radio maupun teleskop optik, yang tersebar di beberapa negara bagian,” sebut Elida Istiqomah.
Ia menjelaskan, “Dengan belajar astronomi di sini, saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa teleskop, diantaranya tahun lalu saya sempat berkunjung ke Coonabarabran, NSW melihat teleskop Mopra, serta ke Narrabri saat mengikuti sekolah musim panas sambil melihat ATCA (Australia Telescope Compact Array) dari dekat.”
Terlebih, saat ini Australia menjadi salah satu dari dua negara di dunia yang menjalankan proyek fantastis di bidang astronomi gelombang radio, yaitu Square Kilometre Array (SKA). Ini adalah gabungan beberapa teleskop radio yang terintegrasi sehingga data yang dihasilkan akan memiliki resolusi berlipat dibandingkan teleskop yang pernah ada, kata Elida.
Berbagai pengalaman berkesan telah ia alami selama menempuh studi di Australia. Menjadi bagian dari tim teleskop Mopra adalah salah satunya.
“(Dari pengalaman ini) Saya belajar arti kemandirian; bahwa pemerintah, meskipun itu negara maju, bisa saja sewaktu-waktu memotong dana penelitian sehingga ilmuwan harus memutar otak untuk mencari dana guna menyelesaikan penelitiannya,” ungkap Elida Istiqomah yang masih tercatat sebagai dosen UGM ini.
Proyek Mopra membuat Elida harus mengumpulkan dana dari masyarakat di seluruh dunia agar teleskop ini bisa terus beroperasi.
“Saya pun masih bisa terus melakukan pengamatan dengan teleskop Mopra di meja kerja saya, School of Physics, UNSW,” sebut ilmuwan yang seringkali mem-posting kegiatan astronominya di media sosial ini.
Kiprah Elida di Australia-pun berkembang. Kini, ia juga tergabung dalam tim ‘Physics Outreach’ UNSW, yang kegiatannya memperkenalkan ilmu fisika dan astronomi kepada masyarakat luas, khususnya siswa-siswa sekolah di sekitar NSW.
Keterbatasan infrastruktur astronomi di Tanah Air-pun tak membuatnya patah arang. Ia justru melihat peluang.
“Memang sampai saat ini kita belum memiliki satupun teleskop radio, bahkan teleskop optik yang cukup mumpuni dan tertua di Indonesia hanya ada di Observatorium Bosscha, Lembang,” ungkap Elida Istiqomah.
Elida berbagi, pembangunan teleskop radio di dekat Kupang, Nusa Tenggara Timur akan digagas dalam waktu dekat.
“Beberapa astronom sedang merancang proyek ini. Beberapa astronom dari Observatorium Nasional akan berkunjung ke Australia bulan September untuk mempelajari teknis dan operasional teleskop; saya rencananya turut dalam kunjungan ini,” utaranya kepada Nurina Savitri dari Australia Plus.
Perempuan ini tak menampik bahwa bidang yang ia jalani tak sepopuler bidang sains lainnya di Indonesia.
Baginya, popularitas bukanlah alasan untuk mendalami ilmu, karena ia percaya semua ilmu memiliki perang masing-masing.
“Seperti pesan guru saya di UGM: semua ilmu pengetahuan pasti ada manfaatnya, manusialah yang mungkin belum tahu manfaat dari suatu ilmu. Mungkin di Indonesia, ilmu kedokteran jauh lebih populer dibandingkan ilmu-ilmu dasar seperti fisika.”
Lebih lanjut Elida menuturkan pesan gurunya, “Sumbangsih kita dalam ilmu pengetahuan ibarat batu bata yang membangun keseluruhan tembok rumah; kita butuh masing-masing bidang untuk mendirikan keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan yang tinggi dan kokoh.”
Ilmuwan muda ini sangat yakin, di masa depan, dunia astronomi Indonesia bisa berkembang pesat.
“Sekarang akses informasi sudah sangat mudah diperoleh. Kepedulian terhadap ilmu astronomi di Indonesia pun mulai meningkat sejak terjadinya Gerhana Matahari Total, bulan Maret lalu. Masyarakat luas sudah mulai memahami astronomi populer,” pendapat Elida Istiqomah.
Munculnya sejumlah klub astronomi di kota-kota besar di Indonesia juga dinilainya sebagai perkembangan yang baik untuk menumbuhkan kepedulian terhadap ilmu astronomi.
“Kelak, semoga di Indonesia tidak ada lagi pola pikir yang menganggap bahwa jurusan astronomi itu tidak berguna karena tidak menghasilkan uang,” harapnya. []