IMAN HERDIANA
Istilah Sunda tidak sekadar etnis atau geografis, melainkan sebuah budaya yang dinamis. Sunda bisa dipandang dari sisi mistik, bisa juga dilihat dari sisi politik. Sunda bukan budaya yang kaku dan final.
Demikian kesimpulan Asep Salahudin, dosen Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, atas pembacaan terhadap buku “Tanah dan Air Sunda”, yang diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Minggu (05/02/2017).
“Sunda di buku ini bukan bersifat geografis, tapi bermakna simbolik agar napas Sunda terus berlangsung. Kebudayaan Sunda diposisikan menjadi proses tak pernah final,” kata Asep Salahudin yang juga menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) dan Universitas Pasundan (Unpas).
Ia menilai Hawe Setiawan memiliki kecintaan besar pada budaya Sunda. Buku tersebut menafsirkan banyak aspek budaya sunda dari sudut pandang menarik.
Penafsiran Sunda versi Hawe Setiawan, kata dia, diposisikan dalam makom-makom yang terbuka untuk ditafsirkan kembali. Hawe Setiawan melihat kebudayaan Sunda sebagai kata kerja, bukan kata benda.
Dengan demikian, Sunda menjadi multitafsir. Di satu sisi bisa dilihat sebagai masyarakat religius atau agamis, bisa juga dilihat dari sisi mistik, politik, dan seterusnya. Masyarakat Sunda menjadi kompleks, ada yang liberal ada juga yang militan.
Pandangan itu didasari aspek budaya Sunda yang penuh simbol dan mitos yang terbuka untuk ditafsirkan.
“Hawe melakukan penafsiran pada mitos-mitos Sunda, atau bisa jadi dia bikin mitos baru dan melakukan demitilogisasi pada mitos Sunda itu yang hasilnya mungkin tak terduga oleh si pengarang mitos atau mungkin oleh Hawe sendiri,” paparnya.
Uniknya, lanjut dia, meski Hawe Setiawan mengulas beragam tema mulai produk budaya yang bersifat teknis hingga mistik, buku tersebut diawali dan diakhiri dengan ulasan mistik. Esai pertama buku mengulas tentang mitos ratu adil di zaman DI/TII yang berbasis di Jawa Barat.
Hawe, kata Asep Salahudin, menyinggung alasan orang Sunda zaman DI/TII yang menerima paham Kartosoewirjo yang notabene orang Jawa.
“Kartosoewirjo paham kalau mempromosikan islamisme di Jawa tidak akan laku, karena di saja dia bukan ulama. Maka dia mempromosikan di Jawa Barat agar dapat respon positif,” katanya.
Untuk melancarkan pahamnya, Kartosoewirjo memilih Garut, dan menikah dengan warga Garut bernama Umi Kulsum. Pernikahan ini dinilai politis, sama halnya dengan pernikahan Soekarno dengan Inggit Garnasih.
Pernikahan politik tersebut penting untuk menyebarkan paham atau ideologi. Baik Kartosoewirjo maupun Soekarno adalah murid “raja tanpa mahkota” HOS Tjokroaminoto (1882-1934).
Kartosoewirjo belajar ideologi Islam dan Soekarno belajar nasionalisme dari HOS Tjokroaminoto. Murid HOS Tjokroaminoto yang lain yang kemudian berhaluan komunis adalah Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka.
Bedanya, jika Kartosoewirjo dan Soekarno sukses menyebarkan paham mereka di Jawa Barat, tidak demikian dengan rekan sekelas mereka yang berhaluan komunis. Sejak awal abad ke-20, komunisme tidak pernah sukses di Jawa Barat. Sejarah mencatat, pada 1922 Muso merancang perang sabil di Garut, namun gagal total.
Setengah berseloroh, kesuksesan Kartosoewirjo dan Soekarno tak lepas dari pernikahan politis yang mereka lakukan. Muso gagal di Jawa Barat karena tidak punya istri orang Jawa Barat. Anehnya akhir-akhir ini komunisme justru ditakutkan di Jawa Barat, padahal dari dulu komunisme tidak memiliki catatan sukses di Tatar Pasundan.
Di bab terakhir, kata dia, Hawe Setiawan juga membahas Penghulu Haji Hasan Mustafa, kyai masyhur asal Garut yang hidup di abad ke-19 yang namanya diabadikan dalam nama jalan di Bandung, Jalan PHH Mustafa.
PHH Mustofa kyai paling produktif menghasilkan puisi tasawuf. Dia memunculkan Islam sebagai ajaran substantif, bukan ajaran formal atau permukaan.
“Tak ada penyair yang lebih produktif dari PHH Mustofa meski akhirnya beliau disebut kafir, zindik, dan munafik karena mempromosikan tema-tema agama yang substabtif, simbolik dan penuh penghayatan,” katanya.
Akhirnya Asep Salahudin menyarankan, buku “Tanah dan Air Sunda” sebagai kumpulan esai penting yang layak dibeli, tentu dibaca. Buku ini disusun sejak tahun 2000, dan baru diterbitkan 2017.
“Ini jihad sejihad-jihadnya, pahalanya lebih besar dari jalan kaki ke Jakarta. Sumbangan pemikiran untuk Sunda meski Sunda tak pernah memikirkan Hawe Setiawan,” kata Asep Salahudin yang juga Lakpesdam NU Jawa Barat. []