More

    Di Kampus pun Perempuan Dipandang Lapis Kedua

    Gesia Nurlita, wakil koordinator lapangan Komite Perjuangan Pembebasan Perempuan, mahasiswi UIN SGD dan aktivis Pembebasan Kota Bandung. FOTO : IMAN HERDIANA

    BANDUNG, KabarKampus – Setidaknya ada dua momen khusus untuk perempuan. Pertama, Hari Perempuan Internasional yang sudah lewat Maret lalu, dan kedua Hari Ibu atau Hari Kartini 22 April mendatang.

    Pesan dari dua momen itu tegas, perempuan memiliki peran dan hak setara dengan laki-laki. Hal ini pula yang disuarakan Komite Perjuangan Pembebasan Perempuan dalam unjuk rasa memeringati Hari Perempuan Internasional di depan Gedung Sate, beberapa waktu lalu.

    Sejak zaman Dewi Sartika, Inggit Garnasih, SK Trikurti, Marsinah, hingga kini kesetaraan perempuan masih terus disuarakan. Karena perempuan belum setara dengan laki-laki.
    Di level internasional pun demikian, sejak zaman Clara Zetkin (Jerman), Leila Khaled (Palestina), hingga aktivis cantik Camila Valejo (Cile), dan lain-lain, kesetaraan perempuan terus disuarakan dan diperjuangkan.

    - Advertisement -

    Begitu pun di level kampus di mana perempuan masih dinomorduakan, lapis kedua dari laki-laki alias subordinasi.

    Semangat para pejuang perempuan terdahulu itu kemudian diusung aktivis perempuan kini. Poster Dewi Sartika hingga Camila Valejo menjadi penyemangat dan pengingat agar perempuan bangkit dan setara.

    Khusus di dunia kampus yang notabene gudangnya kebebasan berpikir dan berekspresi, subordinasi perempuan itu masih terjadi.

    Gesia Nurlita, wakil koordinator lapangan Komite Perjuangan Pembebasan Perempuan, menyayangkan jika dunia kampus justru masih berjarak dengan isu-isu praktis perempuan. Pendekatan terhadap isu perempuan masih sebatas akademis, kurang membumi.

    “Di kampus mereka hanya melalukan kajian-kajian, jarang membicarakan penindasan terhadap perempuan, upah layak, kesetaraan dan perlindungan di tempat kerja, kekerasan sekasual,” kata Gesia Nurlita, kepada KabarKampus.com.

    “Di kampus subodinasi masih terjadi, perempuan dinomorduakan baik di bidang sosial maupun politik,” tambah mahasiswi UIN SGD ini.

    Padahal, kata aktivis Pembebasan Kota Bandung ini, kasus terhadap perempuan di Indonesia di era millennial ini masih tinggi. Diperkirakan, 60 persen perempuan Indonesia mengalaminya. Bahkan ia menduga 7 sampai 8 dari 10 perempuan Indonesia mengalami kasus ketidaksetaraan.

    Contoh di tempat kerja, kata Gesia Nurlita, perempuan masih kesulitan mendapat hak cuti haid dan cuti hamil. “Upah juga belum setara dengan laki-laki,” katanya.

    Menurutnya perjuangan kesetaraan perempuan harus terus digelorakan baik di kampus maupun di luar kampus dengan cara berorganisasi.

    “Pola pikir masyarakat harus berubah, dengan organisasi pola pokir akan berubah. Kita tuntut hak-hak perempuan lewat berorganisasi, misalnya mengemukakan pendapat di muka umum,” tandas dia.

    Menurutnya, peringatan momen penting perempuan akan percuma jika bersifat seremonial belaka, misalnya bagi-bagi bunga dan sejenisnya. Maka perempuan, di kampus maupun luar kampus, harus belajar berorganisai agar perjuangnnya terwujud dan abadi.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here