Bagi Iqbal Alfajri, bikin film bukan hal baru. Meski baru film Iqro sebagai film layar lebar yang disutradarainya, ia cukup malang melintang bergelut dengan film indie.
“Sebelumnya saya buat film indie 2001, pernah ikut festival. Membuat film panjang sejak 2004. Film panjang untuk bioskop baru ini (Iqro),” tutur Iqbal Alfajri, saat berbincang dengan KabarKampus di Salman Film Academy, Masjid Salman ITB, Bandung, beberapa waktu lalu.
Cerita Iqbal itu menunjukkan karier sinematografi yang tidak mudah. Sebelum menyutradarai film Iqro yang ditonton hampir 300 ribu pasang mata, ia mengawali kariernya dari bawah, dari film-film indie yang perlu perjuangan militan.
Seperti kita ketahui, bikin film inde, ya, harus serba mandiri. Bukan indie namanya kalau tidak militan. Terlebih, iklim sinematografi di negeri ini masih banyak kekurangan.
Jika ditelusuri lagi ke belakang, Iqbal Alfajri memiliki minat seni yang kuat. Pria berkacamata ini lahir di Pekanbaru 12 November 1976. Ia menamatkan pendidikan S1 dan S2-nya di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Kini, ayah dua anak ini mejabat Direktur Salman Film Academy. Ia juga mengajar di kampus swasta.
Salman Film Academy merupakan lembaga pendidikan dan produksi film. Iqro merupakan film layar lebar hasil produksi Salman Film Academy dan Masjid Salman.
Ide pembuatan film Iqro muncul sejak 2014, dilatarbelakangi kebutuhan akan film keluarga dengan tema berbobot, yaitu sains dan religi. Sementara film anak yang tayang di bioskop waktu itu masih jarang, kalah dengan film umum atau horor.
“Kita lihat ada kebutuhan di masyarakat tentang film tema keluarga,” kata Iqbal. “Apalagi film anak, religi dan sains.”
Kendati film anak, proses pembuatan film Iqro memakan waktu dua tahun. Syuting pertama dilakukan 2015. Menurut Iqbal, membuat film anak memiliki kesulitan tersendiri.
Pemeran utama anak dalam film Iqro, Aisha Nurra Datau (memerankan Aqila), adalah pendatang, bukan artis cilik yang biasa nongol di tv. Walau demikian, setelah dipoles dengan sabar, seni peran Aisha berani diadu dengan artis anak.
Hal itu berkat dorongan orang tua Aisha dan kondisi yang diciptakan selama proses pembuatan film. “Kita buat kondisi senatural mungkin. Anak-anak kan bukan pekerja,” jelas Iqbal.
Selama proses syuting, perlu dilakukan penyesuaian jadwal anak dengan jadwal aktor-aktor senior yang membintangi Iqro seperti Cok Simbara, Neno Warisman, Meriam Bellina.
“Kita harus menyinkronkan waktu aktor senior dan aktor anak, jangan bentrok dengan sekolah. Banyak hal yang ekstra dalam membuat film anak,” kata Iqbal.
Tantangan lain, lanjut dia, 60 persen syuting film dilakukan di Observatorium Bosscha ITB yang merupakan lembaga penelitian. Hal ini karena film bercerita tentang Aqila yang sedang berlibur di Bosscha tempat dimana kakek seorang peneliti astronomi.
Maka syuting dan lain-lainnya tak bisa dilakukan sembarangan, harus melalui proses perizinan. Terlebih, ada adegan yang memerlukan penggunaan teropong paling besar di Bosscha, yaitu teropong legendaris Zeiss.
Walhasil, dua tahun kemudian, tepatnya Januari 2017 kemarin, Iqro baru bisa dirilis di bioskop se-Indonesia. Berikutnya, film ini diputar di Inggris, Prancis, Jerman dan Australia.
Film ini mendapat sambutan cukup baik. Di dalam negeri, film ditonton oleh hampir 300 ribu. Film yang memakan dana Rp5 miliar itu pun sukses balik modal. Kalau tidak, Iqbal dkk bakal kelimpungan mengembalikan modal.
“Kita pakai modal pinjaman, bukan sponsor, jadi harus dikembalikan. Alhamdulillah sudah balik modal,” ucapnya.
Dan, tak hanya balik modal. Salman Film Academy kini siap-siap menggarap sekuel film Iqro. Sebagai bocoran, rencanya film ini akan memakai setting di Eropa. So, kita tunggu saja.[]