More

    Stres Bisa Bikin Penyakit, Begini Penjelasan Ilmiahnya!

    Ilustrasi stress/ Dok. Pintest

    Apakah kamu pernah mengalami stres? Hati-hati, karena stres bisa mempengaruhi kesehatan seseorang.

    Stres terjadi karena dalam tubuh seseorang terdapat sistem yang mengatur stres yang letaknya pada sistem saraf pusat dan saraf tepi. Sistem ini akan aktif saat pemicu stres jumlahnya melampaui ambang batas yang ditoleransi dalam tubuh.

    Hal ini diungkapkan Prof. Dr. I Ketut Adnyana, M. Si., Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia mengatakannya pada pidato Ilmiah acara Dies Natalis ke-59 ITB di Aula Barat, ITB, Jumat, (02/03/2018).

    - Advertisement -

    Menurutnya, saat stres, respon yang diberikan dapat berupa perubahan pikiran, perilaku, mental atau adaptasi fisiologis dan fisik. Perubahan ini memicu munculnya kondisi patologis sampai kegagalan fungsi organ vital.

    “Penyebab stres dapat dari faktor eksternal dan internal atau kombinasi keduanya yang secara umum disebut stres oksidatif,” kata Prof Ketut dihadapan civitas ITB.

    Stres oksidatif dinyatakan sebagai suatu keadaan yang mencerminkan adanya produksi jumlah oksidan  atau disebut radikal bebas yang berlebih pada tubuh. Sehingga keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh tidak tercapai.

    “Akibatnya dapat muncul suatu kondisi gangguan kesehatan atau patalogis atau penyakit, salah satunya sindrom metabolik,” tambahnya.

    Ia mengungkapkan, radikal bebas berlebih pada tubuh tersebut, diproduksi oleh suatu kondisi stres oksidatif yang dapat berasal dari lingkungan internal tubuh seperti metabolisme sel yang tidak normal, infeksi, sel mengalami krisis nutrisi, dan sebagainya. Sementara paparan dari luar tubuh seperti asap rokok, polusi, dan sinar untraviolet berlebih.

    Radikal bebas ini tambah Prof Ketut, menjadi pencetus utama kerusakan jaringan dan penuaan sel, terutama pada sel jantung dan otak. Selanjutnya, kadar radikal bebas ini bisa meningkat dengan bertambahnya usia.  Tanda utamanya adalah  metabolisme lemak yang tidak normal dan turunnya kemampuan untuk menteralkan radikal bebas oleh antioksi dan tubuh.

    Sementara itu, menurutnya, stress secara fisiologi dan gaya hidup seperti kebiasaan merokok memberikan imbas tinggi terhadap munculnya radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas yang diproduksi akibat stres oksidatif menjadi awal terjadinya oksidasi yang menyebabkan penurunan fungsi suatu sel dan penuaan sel tersebut.

    Ia menjelaskan, berbagai riset telah membuktikan hubungan erat antara stres dan sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular dan penyakit degeneratif. Peningkatan kadar kortisol pada hypotalamic-pituitary-andreanal axis (HPA axis) pun disebut menjadi penyebab utama pada lima persen kasus depresi. Ketiganya berperan penting dalam mengatur stres dan mengatur metabolisme tubuh.

    Selain itu, stres dapat menimbulkan, mempengaruhi penyakit dan tingkat kesakitan yang timbul. Stres diawali ketika paparan stimulus dari lingkungan internal maupun eksternal melebihi kapasitas adaptasi suatu individu.

    Selanjutnya, tambah Prof Ketut, hubungan stres oksidatif dan fungsi fisiologis tidak hanya ditujukan dalam kelainan fisiologis seperti depresi, namun muncul pula dalam pengaturan keseimbangan glukosa dan hormon insulin – suatu hormon yang mengatur metaolisme glukosa tubuh. Meningkatnya jumlah glukosa dan menurunnya hormon insulin pada kondisi stres jangka panjang dapat meningkatkan produksi radikal bebas melalui proses glikolisasi dan aktivitas simpatetik yang diperantarai hormon insulin.

    Berbagai cara dikembangkan untuk menangani stres oksidatif dan stres fisiologis mulai dari terapi prilaku, pemberian obat, dan pembatasan asupan kalori yang terdapat pada makanan.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here