Siang menjelang sore ini saya pulang dari kampus di Bukit Dago dengan menggunakan angkutan perkotaan atau yang lebih dikenal dengan angkot. Belakangan ini saya memang sangat jarang menggunakan angkot sebagai fasilitas transportasi publik yang disediakan oleh pihak swasta atau non-pemerintah ini.
Dan saya selalu berharap, seharusnya pemerintah yang menyediakan sarana transportasi publik massal dan murah, saya yakin, pasti lebih banyak keuntungannya bagi negara dan warga negara. Apalagi jika penyedianya adalah Rakyat Indonesia.
Begitupun mungkin sebagian besar kita juga sudah jarang menggunakan angkot dalam keseharian. Hal itu saya buktikan setiap kali naik angkot di kota ini, lebih sering sepi penumpang sehingga sangat longgar dan lega di dalamnya ketimbang ramai dan penuh sesak seperti dulu. Kecuali di pagi atau sore hari ketika emak-emak pergi ke dan pulang dari pasar dan ketika anak-anak sekolah (sebagian) pergi ke dan pulang dari sekolah.
Seperti tadi pagi ketika berangkat ke kampus, saya pun lebih memilih naik ojek online ketimbang angkot karena saya membutuhkan kecepatan dan kenyamanan lebih ketimbang harga yang jauh lebih murah. Iya, penting bagi mahasiswa seperti saya untuk mempertimbangkan kemurahan harga atau kecepatan sampai di lokasi tujuan. Termasuk dalam mengonsumsi kebutuhan hidup lainnya selama ini. Nah, ketika pulang dari kampus, karena saya sedang tidak membutuhkan kecepatan untuk sampai tujuan, maka saya memutuskan untuk memilih angkot sebagai sarana transportasi. Kebetulan, dari sejak saya naik sampai turun hanya saya satu-satunya penumpang angkot tersebut. Angin berhembus sepoi-sepoi masuk ke dalam angkot yang berjalan pelan karena kemacetan kota seperti biasanya, membuat saya mengantuk bahkan tertidur sejenak. Sampai sang sopir bertanya, “turun di mana A’?”.
Sepanjang perjalanan di dalam angkot sampai saya tertidur, saya berpikir tentang fenomena angkot saat ini. Meminjam salah satu istilah Kawan saya di Geostrategy Study Club (GSC), apakah fenomena angkot ini bisa dilihat (kerennya dianalisis) dalam metode berpikir tentang skema dan kontra-skema? Kalaupun bisa, skema dan kontra-skema seperti apa yang bisa ditemukan untuk kemudian dibuktikan dalam penjelasannya? Begitupun, bagaimana menempatkan analisis tentang fenomena angkot ini dalam kajian Geostrategi dan Hubungan Internasional? Sepertinya saya mengada-ada, tapi saya berkeyakinan, apa sich yang tidak berhubungan atau setidaknya bisa dihubungkan di era big data ini? Ini adalah soal ekonomi politik global per-angkot-an alias per-ojek-an.
Skema pertama tentang fenomena angkot ini adalah pada mulanya angkot disediakan oleh pemerintah atau negara, karena itu menjadi kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan transportasi publik sebagai hak warga negara. Seiring semakin meningkatnya jumlah populasi warga negara, maka kebutuhan terhadap angkot ini tentu semakin besar. Masalahnya kemudian adalah ketika negara semakin terbebani anggarannya, maka akhirnya ini akan mengubah skema dalam hubungan antara negara, warga negara, dan korporasi (non-pemerintah/bisnis) transportasi. Sebab, semakin ramai dan banyaknya orang-orang atau warga negara yang membutuhkan sarana transportasi seperti angkot ini, akhirnya menciptakan dan menumbuhkan pasar transportasi. Artinya, penyediaan transportasi publik berpotensi menjadi sebuah jasa yang dikomoditisasi atau dikomodifikasi sebagai jualan atau dagangan. Maka terciptalah dan tumbuhlah bisnis transportasi.
Komoditisasi (commoditization) adalah proses di mana setiap produk, termasuk barang-barang pabrikan, bisa menjadi komoditas. Sebuah istilah yang umum dipakai di dunia pemasaran untuk menunjuk proses terjadinya erosi diferensiasi dari sebuah merek. Erosi diferensiasi adalah menurunnya keunikan sebuah produk (barang/jasa) yang diperjualbelikan atau diperdagangkan. Sedangkan komodifikasi (commodification) adalah mentransformasikan barang, jasa, gagasan, dan orang (atau manusia!) menjadi komoditas atau objek dagang. Menurut Arjun Appadurai (1986), komoditas pada dasarnya adalah “apapun yang dimaksudkan untuk ditukar”, atau objek apapun yang memiliki nilai ekonomi. Sedangkan Vincent Mosco (2009) mendefinisikan komodifikasi sebagai proses mengubah barang dan jasa, yang dinilai karena kegunaannya, menjadi komoditas yang dinilai karena apa yang mereka berikan kepada kebutuhan pasar. Dalam arti khusus mengubah nilai guna menjadi nilai tukar yang mengasilkan keuntungan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Terima kasih banyak Kanda, sudah membuka hati saya untuk membaca sejarah Banten, ini sangat penting untuk di publikasikan ke orang-orang banten khususnya.
Mantap pokonmah kanda Kuntul hehe