Ilustrasi /ias online
Akreditasi universitas baik di level nasional maupun internasional menjadi salah satu cara yang ditempuh banyak universitas untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas universitas. Malah, belakangan akreditasi internasional jadi primadona bagi penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia lantaran diyakini bisa memotivasi peningkatan kualitas perguruan tinggi. Tetapi kenyataannya, akreditasi internasional justru malah menjauhkan universitas dari tujuan penyelenggaraannya pendidikan tinggi yaitu Tridharma Perguruan Tinggi.
Berlomba Meraih Pengakuan Internasional
Mari kita telusuri terlebih dulu awal mula munculnya akreditasi internasional di Indonesia. Budi Winarno, dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer” menjelaskan awal mula kemunculan akreditasi internasional di Indonesia. Sejak tahun 2001/2002, jumlah minat masuk ke perguruan tinggi meningkat. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berlomba-lomba menjadi universitas terbaik supaya dilirik oleh para calon mahasiswa.
Dari sini predikat terbaik ternyata tidak cukup hanya sampai ke taraf nasional, tapi juga ke tingkat internasional. Maka itu, lahirlah sebutan World Class University sebagai salah satu predikat internasional. Untuk mendapat pengakuan itu, tentunya perguruan tinggi harus melewati rangkaian uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga akreditasi internasional.
Salah satu lembaga yang menyediakan jasa akreditasi internasional adalah Accreditation Service of International College (ASIC). Tahun 2019 lembaga tersebut telah melakukan visitasi ke beberapa universitas swasta di Indonesia, di antaranya Universitas Islam Riau, Universitas Islam Bandung, dan Telkom University.
Dilansir dari laman resmi Asic.org.uk, tercantum 13 poin keuntungan yang akan didapat jika diakreditasi oleh lembaga asal Inggris itu. Seperti, bantuan perencanaan internasionalisasi dan persiapan sebelum inspeksi pemerintah daerah, panduan tentang penyusunan kebijakan dan prosedur penjaminan kualitas universitas, akses ke kegiatan pemasaran internasional, dan kunjungan berkala oleh ASIC dalam rangka memberi saran dan layanan konsultasi, dan sebagainya.
Apa yang dijanjikan ASIC tentunya menggiurkan universitas yang punya keinginan kuat dalam meningkatkan kualitasnya. Bagaimana tidak? Lembaga tersebut tidak hanya menawarkan akreditasi, tapi juga pengawasan berkala supaya dapat mengembangkan kualitas yang ada menjadi lebih baik lagi.
Akreditasi Internasional Tidak Mencerminkan Tridharma Perguruan Tinggi
Di Indonesia, kita mengenal Tridharma Perguruan Tinggi sebagai prinsip penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi. Hal tersebut dijelaskan dalam UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Termaktub di dalamnya, Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kemudian, dijelaskan juga lebih rinci tentang pendidikan, penelitian dan pengabdian dalam UU tersebut.
Dari tiga poin itu, semua mengarah kepada pendidikan yang berpihak kepada masyarakat, bukan berpihak pada kebutuhan pasar, karena poin perdagangan tidak tercantum dalam Tridharma. Tapi yang terjadi, perguruan tinggi di Indonesia malah mengejar standar internasional yang banyak mengarah kepada perdagangan.
Dilihat dari keuntungan yang didapat jika diakreditasi oleh ASIC, salah satunya adalah akses ke kegiatan pemasaran internasional. Lembaga tersebut mendorong perguruan tinggi supaya bisa bersaing di pasar internasional dengan cara meningkatkan kualitas yang sesuai standarnya, bukan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Dalam jurnal ilmiah yang berjudul “Trends In International Trade in Higher Education: Implications and Options For Developing Countries” karya Sajhita Bashir menjelaskan bahwa akan ada beberapa resiko yang terjadi pada pemburu atau penyandang gelar World Class University. Di antaranya, negara tersebut bisa kehilangan kedaulatan pada sektor yang vital bagi pembangunan nasional.
Mengapa bisa sampai kehilangan kedaulatan? Berbicara tentang akreditasi internasional berarti membicarakan General Agreement on Trade in Service (GATS) yang diatur oleh World Trade Organization (WTO), karena perjanjian tersebutlah yang jadi dorongan utama munculnya internasionalisasi pendidikan. Dalam perjanjian tersebut, pendidikan masuk ke dalam 12 sektor jasa yang disepakati untuk diliberalisasikan.
Artinya, pemerintah tidak akan banyak turun tangan dalam mengatur kebijakan perguruan tinggi. Musabab, para penyedia jasa akreditasi internasional mensyaratkan sebuah perguruan tinggi harus punya pendanaan yang mmadai untuk mencapai World Class University. Tentunya untuk sampai ke sana tidak cukup hanya mengandalkan dana pemerintah. Perguruan tinggi pun harus kreatif dalam mencari cara agar dana tersebut tertutupi, salah satunya dengan menaikkan biaya perkuliahan.
Akreditasi nasional maupun internasional memang baik, jika tujuannya sesuai dengan prinsip Tridharma Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi seharusnya berpihak pada masyarakat Indonesia, kemudian mengembangkan potensi-potensi yang ada. Kemudian, hasilnya diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Bukan malah berakhir sebagai komoditas bisnis semata.
Penulis: Rifka Silmia Salsabila, anggota Geostrategy Study Club (GSC).
Sumber:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bb37a39de6cc/mk-batalkan-uu-badan-hukum-pendidikan/
Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Budi Winarno, hlm. 378-395
Jurnal ilmiah “Trends In International Trade in Higher Education: Implications and Options For Developing Countries” karya Sajhita Bashir, The World Bank.