BANDUNG, KabarKampus – Ganja yang tumbuh subur di Indonesia namun kemudian diperangi karena digolongkan sebagai narkotika kelas 1, ternyata secara medis memiliki banyak zat yang berfungsi sebagai pengobatan. Penyakit yang diteliti bisa diatasi zat dalam ganja antara lain kanker dan diabetes, dua penyakit yang menempati urutan teratas di dunia.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung (Unisba), dr Mirasari Putri Ph.D, mengatakan bicara ganja berbeda dengan membicarakan komponen di dalam ganja. Menurutnya, ganja memiliki lebih dari 500 senyawa cannabinoids. Masing-masing senyawa terdiri dari komponen yang berbeda-beda sifatnya.
Mirasari menyebut, dalam penelitian ganja ditemukan ada 144 komponen terkenal di dalam tumbuhan cannabis sativa itu, antara lain cannabidiol (CBD), cannabinol (CBN), cannabichromene (CBC), cannabigerol (CBG), tetrahydrocannabivarin (THCV), dan lain-lain.
Zat-zat tersebut paling sering diteliti karena diduga memilki efek untuk melawan berbagai penyakit. Contohnya THCV yang memiliki efek antiimflamasi atau peradangan. “Tetrahydrocannabivarin ini yang menjadi kembang desanya di antara komponen-kompenen dalam ganja,” kata Dr Mirasari, dalam diskusi “Ada Apa dengan Ganja?” yang digelar HMI Koordinator Komisariat Unisba, Bandung, Rabu (19/2/2020).
Namun penelitian ganja sebagai obat masih harus menempuh jalan panjang. Untuk penelitian tetrahydrocannabivarin, penelitiannya harus melalui penelitian paraklinis, uji coba ke hewan, organ tubuh manusia, dan seterusnya. Selama proses ini berlangsung, akan diteliti efeknya. Setelah itu akan masuk ke penelitian klinis yang terdiri dari empat tahapan.
Selain tetrahydrocannabivarin (THCV), ada juga penelitian cannabinol (CBN) yang berpengaruh pada sistem otak dan sistem pertahanan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mencegah kematian sel yang bisa menimbulkan kanker. “Ganja memiliki zat antioksidan yang bisa mengurangi efek buruk radikal bebas (kanker),” terangnya.
Kata dr Mirasari, banyaknya penelitian ganja bisa disimak dari jumlah jurnal penelitian tentang ganja. Ada lebih dari 30 ribu jurnal ilmiah yang dicari dengan keyword “marijuana”. Penelitian tentang ganja paling banyak terjadi di Inggris.
Peneliti di Indonesia memang belum bisa melakukan penelitian ganja mengingat dalam Undang-undang 35/2009 tentang Narkotika, ganja adalah narkotika golongan 1. Padahal, Mirasari sendiri tertarik melakukan penelitian ganja.
“Menarik kalau dijadikan penelitian di Indonesia. Tapi kalau saya teliti, ambil sampel untuk ditanam sendiri, nanti dipenjara itu takut juga. Itu masalah sebenarnya bicara legalitas. Kita kan bicara di penelitian, kalau di ranah hukum ngeri,” katanya.
Di samping efek positif, ganja pun punya efek negatif. Memang kematian akibat ganja bisa dibilang nol persen. Tapi konsumsi ganja bisa memengaruhi berbagai organ tubuh. Mirasari menyebut organ-organ tubuh yang bisa terpengaruh ganja terutama otak, yakni fungsi motorik yang berhubungan dengan gerak. Zat di dalam ganja juga bisa memengaruhi secara psikosis seperti halusinasi dan delusi.
Data di Amerika Serikat, sebanyak 1 dari 6 anak sudah mengkonsumsi ganja. Dari 6 anak yang mengkonsumsi ganja, 25 -65 persen memutuskan untuk mengkonsumsi ganja tiap hari. Sedangkan ganja sendiri memengaruhi perkembangan otak. Padahal otak manusia berkembang dari usia nol sampai 21 tahun. “Jadi kalau konsumsi ganja di bawah 21 tahun akan mengganggu perkembangan otak,” terang peneliti nutrisi tersebut.
Reza A Kodir s.si.M.Farm, dosen Prodi Farmasi Unisba, juga sepakat penelitian ganja seharusnya bisa dilakukan di Indonesia. Menurutnya, peneliti Indonesia pasti mampu melakukan penelitian ganja. Selama ini informasi seputar kandungan dalam ganja berasal dari luar negeri. Padahal, tanaman ganja yang tumbuh di luar negeri bisa jadi memiliki kandungan berbeda dengan ganja di dalam negeri.
“Ganja yang ditanam di Aceh bisa jadi berbeda dengan di luar negeri. Sebagai contoh tanaman cokelat atau kopi terbaik berbeda-beda tempatnya di dunia. Jadi tantangan penelitian ganja sangat menantang sebenarnya, dan sangat menyenangkan kalau kita bisa menelitinya,” ujar Reza.
Farmakolog yang menggeluti herbal tersebut menambahkan, banyak penelitian ganja di luar negeri yang fokus pada pengobatan kanker dan diabetes. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker dan diabetes merupakan penyakit tiga besar di dunia. “Kalau ganja bisa diteliti, bisa jadi solusi untuk kanker dan diabetes,” tandasnya. []